KEKER.FAJAR.CO.ID – Dulu, seringkali dedaunan di halaman depan rumah kujadikan sebuah kanvas dengan lidi sebagai kuasnya. Bukan untuk menggambar sesuatu, tetapi sekadar menyusun huruf menjadi kata Ibu.
Sekarang pun masih sama. Masih sering mengukir huruf tersebut ke pohon yang berada di halaman depan rumahku. Dan hari ini aku melihat beberapa dedaunan berserakan di bawah kakiku, ada yang masih hijau dan ada yang sudah menguning. Nama Ibu masih terlihat jelas di ukiran itu, meski aku tak pernah melihat wajahnya lagi.
Kata Ayah, karena pekerjaan Ibu banyak, jadinya Ibu merantau di luar kota. “Ayah, Ibu bakalan pulang kan?” Pertanyaan itu sering aku tanyakan pada Ayah. Namun, Ayah tak pernah menjawab pertanyaanku. Seolah-olah kalimat yang aku lontarkan hanya hembusan angin bagi Ayah. Tapi aku paham, kenapa Ayah tak pernah menjawab pertanyaanku.
Entah keberapa kalinya aku melontarkan pertanyaan seperti itu, Ayah hanya membalasnya dengan senyuman lebar. Tak sering juga ia memberikan sebuah amplop yang katanya berisi uang dari Ibu.
Seperti tahun sebelum-sebelumnya, hanya uang yang Ibu berikan untukku. Padahal aku berharap bisa bertemu dengannya dan memeluknya layak Ibu dan Anak. Tapi apa? Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang beliau semenjak Ibu kembali bekerja. Dan sekali lagi aku mengalah pada kenyataan.
Namun, realita yang tak pernah aku sangka kini menamparku. Kini, aku sedang berada di taman yang tak jauh dari rumahku. Aku melihat wanita sedang tertawa bersama anak yang mungkin anak itu adalah anak dari hasil selingkuhannya. Bertahun-tahun tidak pernah melihat kondisiku tapi malah asyik dengan keluarga baru? Itu yang aku pikirkan.Aku sedih, aku kecewa, aku marah, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Aku ingin melakukan hal itu. Tapi apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi. Nasi telah menjadi bubur.
Aku, aku hanya bisa tersenyum meskipun hatiku sakit kala melihat Ibu tengah menyuapi anak yang umurnya setahun lebih dariku. Aku rindu Ibuku yang dulu. Aku iri melihat kedekatan mereka. Aku, aku sayang sama Ibu. Tapi kenapa Ibu malah mengecewakanku?Yang ada di pikiranku hanyalah Ayah.
Bagaimana dengan Ayah kalau dia tahu ternyata alasan Ibu tidak pulang ke rumah karena dia telah memiliki keluarga baru? Apa yang akan Ayah katakan nanti? Apakah Ayah sakit hati? Atau malah mengajukan perceraian?Aku benar-benar belum siap kalau hal itu terjadi. Aku berharap bahwa semua yang aku lihat tadi hanyalah mimpi.
“Kepalaku kok pusing ya?” ringisku pelan. Aku membuka mataku perlahan lalu menjelajah setiap ruangan yang aku tempati. Ini dimana?”Sayang, kamu sudah bangun?”Aku mendongak, menatap Ayah yang baru saja datang sambil membawa nampan yang berisikan bubur dan obat yang aku tak tahu itu obat apa.”Itu obat apa, Yah?”Ayah melirik obat sekilas lalu menghadapkan lagi wajahnya ke depan. Aku bisa melihat wajah sorot terluka di wajah Ayah. Jangan bilang kalau Ayah telah mengetahui hal tersebut?”Yah. Ayah kenapa?” tanyaku pelan, sambil berusaha menahan air mataku yang mungkin sebentar lagi akan tumpah. Aku gak tahu kenapa air mataku akan turun. Tapi feelingku berkata kalau ada yang terjadi di antara Ayah atau, Ibu?Ayah tersenyum tipis kemudian menggeleng kecil. Tapi aku tidak menyerah untuk tidak mempertanyakan keadaannya. Karena aku yakin kalau saat ini Ayah tidak dalam keadaan baik-baik saja.Aku memegang tangan Ayah dengan lembut. “Ayah, sini cerita sama aku. Ayah kenapa? Kalau ada masalah cerita sama aku. Jangan dipendam. Nanti Ayah sakit loh.”Ayah tidak menjawab dan tidak pula menggenggam tanganku. Aku memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir pikiran negatif yang entah kenapa tiba-tiba hadir di pikiranku.”Sebelumnya, atas nama Ibu kamu, Ayah minta maaf.”Aku tersentak lalu menatap ke arah Ayah. Aku mengerutkan keningku heran, heran kenapa Ayah tiba-tiba minta maaf dan mengatasnamakan nama Ibu.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Ayah memelukku. Ku dengar Ayah mengucapkan beribu kata tak ingin ditinggalkan. Ini maksudnya gimana? Aku mengusap pelan punggung Ayah. “Yah, Ayah kenapa sih? Ada masalah apa?”