Ayah melepas pelukannya lalu menatapku dengan tatapan sulit aku artikan. Dalam lima detik, kenyataan kembali menamparku. Aku menutup mulutku tak percaya. Tak percaya dengan apa yang Ayah katakan.
Seolah tahu dengan perasaan Ayah, aku kembali menatapnya, menatap matanya berusaha mencari kebohongan. Tapi apa yang aku dapati? Kebenaran. Semua yang Ayah ucapkan adalah kebenaran.
“Ayah, ini gak mungkin. Padahal tadi aku masih lihat Ibu loh. Ayah mungkin belum tahu ini, belum tahu soal kalau Ibu telah memiliki keluarga baru,” ucapku pelan sambil menatap Ayah.Ayah tidak marah, tapi dia malah tersenyum, seolah yang kukatakan hanyalah candaan baginya. “Sayang, dengerin Ayah. Kamu berhalusinasi. Ibu telah meninggal sejak kemarin. Yang kamu lihat itu bukan Ibu kamu, tapi Ibunya sahabat kamu. Ikhlasin Ibu kamu, Nak,” kata Ayah kembali merengkuhku ke dalam pelukan hangatnya. Nadanya bergetar setiap dia mengatakan kalimat itu kepadaku.
Aku terdiam dan tak membalas ucapan Ayah. Yang ada di pikiranku saat ini ialah, bagaimana bisa Ayah mengatakan kalau aku berhalusinasi? Kalau Ibu telah meninggal? Dan yang aku lihat tadi bukan Ibu, melainkan Ibunya Ilmi, sahabatku.Kenyataan memang sebercanda itu ya?
Kenapa rasanya semenyakitkan ini ketika aku baru menyadari kalau aku memang berhalusinasi? Obat yang Ayah bawa juga tadi adalah obat yang aku kerap minum setiap penyakit skizofreniaku kambuh. Aku baru sadar kalau aku memang belum bisa mengikhlaskan kepergian Ibu. Aku belum ikhlas kalau Ibu pergi. Aku belum ikhlas ketika kenyataan yang selama ini aku singkirkan itu beneran menghampiriku.
Seakan-akan tahu dengan perasaan anaknya, Ayah mengajaknya berkunjung ke makam Ibunya. “Kita ke makam Ibu ya?” aku menganguk menyetujui. Semoga dengan kunjunganku kali ini, perasaan ikhlasku bisa terpenuhi.Baju biru yang aku pakai selama di rumah sakit kini berganti menjadi hitam. Aku kerap membawa peti penyimpanan yang kini sudah mulai usang, sama seperti kumpulan ukiran daun yang sudah mulai berdebu di dalam. Aku membuka peti yang berisikan ukiran daun yang aku ukir menjadi kata Ibu.
Aku tersenyum melihatnya. Semoga daun yang terakhir kuukir, yang kuukir dengan doa, bisa menjadi obat penenang selama dia di sana. Ya, semoga Ibu tenang di alam sana. (*)
Biodata Penulis :Valina Afida Aprilia PutriMakassar, 07 April 2004MAN 2 Kota Makassar@vlnafdap_