[Cerpen] My Sweetest Coffee

  • Bagikan

“Kopinya gak bersianida kok,” tambah lelaki itu.

“Pahit?,” sahut Nadine setelah bebera saat diam. Lelaki itu kini tersenyum lagi.

“Ooh, aku tahu sekarang. Waktu itu kamu gak menghabiskan kopinya karena pahit?,” tanya lelaki itu.

Nadine mengangguk. Lalu, lelaki itu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Coba dahulu yang satu ini. Aku janji gak sepahit kopi waktu itu dan gak sepahit kisah kamu,” ucap lelaki itu.

Nadine membelalak, bagaimana bisa lelaki ini berbicara itu kepadanya. Jangan-jangan ia tahu dari kalimat yang Nadine tulis di cup kopi waktu itu.

“Aku janji, kalau kopinya pahit aku bakalan traktir kamu selama seminggu di kafe ini,” tambah lelaki itu meyakinkan Nadine.

Nadine pun mulai menyeruput kopi itu. Aroma lembut dengan rasa yang kaya, seperti beri-berian? Tidak, rasanya semacam cokelat, entahlah tapi itu lebih manis dan lebih enak dari kopi yang pernah ia coba sebelumnya. Ia memejamkan matanya, dan membuka kembali matanya setelah menikmati enaknya kopi itu.

Nadine mengangguk dan mulai tersenyum, membuat lelaki yang ada di hadapannya legah dan ikut merasakan indahnya rasa kopi yang Nadine rasakan.

“Ngomong-ngomong, nama kamu siapa? Aku lupa, hehehe,” ucap Nadine menyekah sisa kopi yang berada di ujung bibirnya.

“Namaku Julian. Kelas kita hanya diantarai dua kelas,” ucap Julian. Nama yang bagus, untuk orang yang tampan.

“Sekarang bagaimana perasaanmu?,” tanya Julian.

“Never better,” jawab Nadine menyeruput kopi itu. Sepertinya ia mulai terpesona dengan rasa kopi ini.

“Sebenarnya, tidak semua kopi itu pahit. Kopi yang waktu itu kamu coba, adalah kopi robusta. Dan kopi yang kali ini kamu coba adalah kopi arabika. Rasanya cukup creamy dan manis seperti orang yang kali ini meminumnya,” ucap Julian membuat kedua bola mata Nadine mengarah kepadanya.

“Aku gak modus lho! Tapi ini fakta,” tambah Julian menatap Nadine dengan tatapan tenang.


Cukup lama mereka duduk berdua berbincang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kopi. Tak terasa, hari sudah larut malam. Julian meminta Nadine untuk menunggunya selesai bekerja dengan alasan untuk pulang bersama. Julian mengantar Nadine pulang dengan mengendarai motor sport berwarna hitam.

Mereka berdua menyusuri jalan malam kota yang diselimuti angin malam yang dingin, bahkan menembus kulit Nadine. Julian pun berinisiatif untuk meminjamkan jaket kulit yang ia kenakan kepada Nadine. Sesampainya mereka di depan rumah Nadine, tidak lupa Julian memberikan paperbag kepada Nadine.

“Ini bonus buat kamu karena sudah memaafkan aku dan menemaniku selesai bekerja hari ini,” ucap Julian yang wajahnya ditutupi oleh helmnya.

“Kopi? Lagi?,” sahut Nadine. “Langsung diminum yah. Keburu dingin.”

Julian pun hendak menyalakan mesin motornya kembali namun diadang oleh tangan Nadine.

“Jaket?,” tanya Nadine. “Besok aja. Itu jaminan supaya besok kita harus ketemu. Hehehe,” ucap Julian kemudian pamit dan mulai mengendarai motor menjauhi Nadine.

Nadine pun masuk dan segera ke kamarnya. Sambil menatap langit malam, ia mulai menyeruput kopi itu. Tapi…, rasanya berbeda. Tidak seenak dan semanis kopi yang ia nikmati di kafe tadi. “Apa mungkin, minum kopi ini harus dengan Julian supaya rasanya lebih enak?,” pikir Nadine tersenyum mengingat perilaku manis dari Julian.

Kini ia berhenti menghakimi hidupnya yang seperti pahitnya kopi. Berkat Julian, ia mengerti. Terkadang hidup tidak sepahit kopi, tapi terkadang bisa semanis dan se-creamy kopi. Itu tergantung pada kopi mana yang kita pilih. Sama halnya seperti manusia mana yang kita pilih untuk dijadikan kekasih. Karena menjalani dan memutuskan hubungan adalah sebuah pilihan. (*)

  • Bagikan