Sebulan setelah membonceng Luna. Aku selalu membayangkan Luna setiap malam dan berharap dia mau jadi pacarku. Jadi kuputuskan untuk nembak dia keesokan harinya.
Di kantin sekolah.
“Lo gak papa kan, Zi,” kata Rian sambil duduk di depanku.
“Apaan sih, pasti maksud lo soal Luna dan Alvin kan,” kataku tersenyum tipis.
“Hmmm,” Rian hanya bisa menghela napas.
Misiku ingin nembak Luna untuk jadi pacarku hari itu buyar. Dia sudah berpacaran dengan Alvin teman sekelasnya dua bulan lalu. Tidak ada yang tahu termasuk aku, sampai hari itu. Seisi sekolah membicarakan mereka.
Jujur hatiku sangat sakit menerima kebenaran itu. Aku juga terlalu percaya diri bahwa dia menyukaiku dan pasti akan menjadi pacarku.
Beruntung, ada Rian dan Sindi uyang selalu menemani dan menyemangatiku.
Tak terasa hari kelulusan hampir tiba. Di hari upacara terakhir di sekolah aku berpapasan dengan cewek yang dahulu kuidam-idamkan.
“Luna, gimana persiapan ujiannya?,” sapaku dengan santai.
“Ehh, Fauzi, katanya kamu daftar kuliah di Jakarta yah? Kamu semangat yah,” seperti biasa dia selalu bertanya balik.
“Iya, kamu semangat yah,” kataku tersenyum.
“Iya,” jawabnya sesekali melihat mataku dan tersipu.
Saat itulah aku tersadar bahwa Luna memang adalah cewek pemalu dan memang selalu tersipu jika berbicara dengan cowok. Luna hanya impian semataku. Aku hanya bisa melangkah dengan ringan saat itu.
“Lain kali aku gak bakalan kepedean lagi,” ujarku dalam hati. (*)