Hari ini ada sesuatu yang aneh. Saat aku keluar dari gerbang sekolah, ada Savira sahabatku di SMP. “Eilen,Ibumu meninggal. Aku tahu kondisi keluargamu sekarang, Aku datang ke sini untuk membawamu pergi melayat,”. Aku terdiam mendengar kabar itu, tubuhku lemas seketika, aku membiarkan diriku ditarik oleh Savira. Tapi tiba-tiba, ada tangan lain yang menarikku ke sisi lain. Tangan itu adalah tangan ayah. “Ayah lepasin,Eilen mau ketemu Ibu,” ujarku sambil menangis. “Tidak, kamu tidak boleh ketemu Ibu,” bentak ayah sambil terus menarikku hingga ke dalam mobil. Di mobil aku hanya terus menangis.
“Maunya ayah apasih, ayah sudah puas kan gunain Eilen supaya Ayah bisa bahagia. Eilen udah korbanin kebahagiaannya Eilen demi ikutin maunya ayah. Sekarang Eilen mau melayat ke rumah Ibu, Ayah juga melarang,” teriakku saat sampai dirumah. “Ngapain kamu ngelayat. Gak penting, Ibumu tidak akan hidup lagi,” Aku terkejut mendengar kata-kata yang ayah ucapkan barusan. “Ayah tadi ngomong apa?,” tanyaku ulang. “Kalau ayah memang tidak mau melayat, setidaknya ayah tidak perlu ngomong begitu,” ucapku kepada Ayah.Aku menangis sejadi-jadinya di kamarku. Aku merindukan keluargaku yang dulu. Aku merindukan Ibuku. Aku tidak pernah berpikir akan melewati saat-saat seperti ini.
Entah sejak kapan, aku mulai membenci hidupku. Aku mulai menyerah menghadapi hidupku sendiri. Aku merasa tidak berguna sama sekali. Sudah lebih dari tiga bulan aku rutin ke psikolog. Aku di diagnosa terkena mental illness. Namun ayahku makin sering menamparku bahkan memukulku, demikian juga temanku di sekolah, mereka terus menerus merundungku.
Tidak sampai di situ saja, sebulan setelah itu, perusahaan milik ayah terbakar. Tidak ada dokumen yang bisa diselamatkan sama sekali. Keluargaku seketika mengalami krisis ekonomi, dan aku terancam tidak bersekolah. Aku merasa putus asa, mengapa Tuhan memberikan cobaan ini padaku. Aku melakukan self injury karena begitu stres.
Tapi ternyata di balik itu, ada pelangi yang Tuhan selipkan. Aku mendapat beasiswa dari sekolahku sebagai siswi berprestasi, aku juga mendapat uang saku setiap bulannya, walaupun tidak banyak namun bisa aku gunakan. Aku tetap bersekolah dan menuntut ilmu seperti biasa. Ayahku menjual rumah miliknya beserta mobil dan motor miliknya. Ibu tiriku menjual perhiasan miliknya lalu kita pindah ke rumah yang lebih kecil. Namun, keadaan keluargaku makin bertambah parah. Ayah terlilit utang di mana-mana. Akhirnya aku memutuskan untuk bekerja sampingan untuk membantu Ayahku melunasi utangnya.
Aku mencoba menulis di twitter milikku. Ternyata banyak yang bersimpati pada kisahku, aku merasa terhibur dengan motivasi yang mereka berikan. Suatu hari, aku dihubungi oleh salah satu penulis terkenal di kotaku, dia meminta izin untuk menjadikan kisahku sebagai salah satu karyanya, aku menerima dengan senang hati. Dia memberikanku sejumlah uang sebagai bayaran. Aku merasa bersyukur bisa membantu ayahku melunasi utangnya walaupun hanya sejumlah kecil.
Saat karya penulis itu terbit, ternyata karyanya laku di berbagai toko buku, dia memberitahukan bahwa itu adalah kisah nyata dari hidupku, mulai saat itu hidupku berubah, aku sering diundang untuk menjadi motivator di beberapa acara, bahkan tahun ini, aku menekuni kuliah di Jurusan Psikologi.
Ada satu hal yang bisa aku pelajari dari semua kejadian hidupku. Hidup tidak semulus yang kita bayangkan, kadang kita berada di atas dan kadang juga kita berada di bawah. Saat kita berada di bawah, kita tidak boleh menyerah, kita harus bangkit. Apapun yang terjadi di hidup kita, pasti ada rencana Tuhan di balik itu semua, Tuhan tidak membiarkan kita melewati itu semua sendirian, dia pasti ada menyertai kita. (*)
Orie PriscyllaSMA Katolik Cendrawasihig: @oriepriscyllaa_