[Cerpen] Gottest Test

  • Bagikan
Dok.Pribadi/Mutmainnah

KEKER.FAJAR.CO.ID – Prank. Suara benda pecah menggema di dalam rumah. Teriakan dan makian mengiringi pecahan piring dan gelas yang bertebaran di lantai.

Clara duduk terdiam di sudut kamarnya. Kedua tangannya berusaha menutup telinganya rapat. “Kumohon berhentilah,” cicit Clara pelan.

Tetap saja tak ada yang berubah. Walau begitu, ia tak pernah sekali pun meneteskan air matanya. Ia gadis yang kuat.

Jam menunjukkan pukul 23.00. Semua suara itu telah berhenti. Clara mengintip dari balik pintu kamarnya. Kedua orang tuanya tidak ada lagi di rumah. Akhirnya ia bisa tertidur nyenyak sekarang.


Mentari terbit dari ufuk timur menghiasi indahnya pagi. Semua orang mengawali pagi mereka dengan tersenyum. Namun hal tersebut tidak berlaku pada Clara. Senyumannya hilang sejak keluarganya hancur.

Ia berjalan kaki ke sekolah dengan lesu. Berharap sekolah membuatnya melupakan semua luka yang ada di hatinya. Namun seluruh penjuru sekolah sudah tahu tentang masalah keluarganya. Semua orang menjauhi dirinya.

“Eh kamu sudah tahu gak kalau ternyata ayah Clara itu sudah bangkrut. Terus setiap hari kerjanya mabuk-mabukan di pinggir jalan,” ucap salah seorang siswi saat Clara memasuki lorong sekolah.

“Ah masa sih,” timpal siswi yang lain.

“Iya beneran. Tetapi yang lebih parah itu ibunya.”

“Katanya sih karena ibunya itu gak mau tinggal lagi sama suaminya yang sudah bangkrut dan mabuk-mabukkan. Akhirnya ibunya lari deh sama pria lain yang lebih kaya.”

“Wah kalau keluargaku begitu, aku pasti malu dan gak mau pergi lagi ke sekolah. Malu-maluin sekolah saja.”

Clara berusaha menulikan telingannya dari semua gosip di sekolah tentang dirinya.

“Aku gadis yang kuat dan aku harus bertahan,” kata Clara dalam hati untuk menghibur dirinya.


“Bruk”.

Clara jatuh ke lantai saat seorang siswi mendorong dirinya. Seember air kotor disiram ke seluruh badannya. Clara menatap sekeliling. Ia menerima tatapan mencemooh dari kerumunan siswa. Suara tawa memenuhi koridor sekolah.

“Deg”.

Hati Clara berdenyut nyeri. Ia segera berlari meninggalkan kerumunan. Berlari tak tentu arah. Ketika tersadar, ia sudah berada di atap sekolah.

“Tak ada lagi yang peduli padamu Clara. Buat apa kau hidup jika tak ada lagi yang peduli,” jerit Clara dalam hati.

Tak ada air mata yang menetes. Tatapannya kosong. Menatap ke bawah bangunan sekolah tiga lantai. “Aku pasti mati saat mencapai lantai dasar,” pikirnya.

Clara menutup matanya dan mulai melangkahkan kakinya ke depan. Namun langkahnya terhenti. Seseorang memegang tangannya erat. Clara berbalik ke belakang.

  • Bagikan