“Lepas! Aku mau mati,” bentak Clara sambil menghentakkan tangannya.
“Tetapi kenapa kau mau mati?,” tanya seorang siswa sambil memegang tangannya.
“Karena walaupun aku hidup. Toh tidak ada yang peduli denganku lagi. Jadi buat aku hidup,” ujar Clara putus asa.
“Siapa yang bilang tidak ada yang peduli sama kamu.”
“Kamu tahu apa soal hidupku? Buat apa aku harus hidup!”
“Jadi kamu mau menyerah dengan hidupmu dan mati sekarang. Kamu tidak peduli kalau jika Allah kecewa padamu?”
Clara terdiam. Ia menatap pria itu lekat-lekat. Ada sebuah rasa ngilu dalam hatinya. Ketika mendengar nama Tuhan disebut. Ia lalu ragu untuk menjatuhkan dirinya ke bawah.
“Tidakkah kau sadar? Tuhan sedang mengujimu sekarang untuk melihat apakah kau siap untuk menerima hadiah yang akan ia berikan padamu,” ujar siswa itu sambil menarik Clara menjauh.
Clara menatap pria itu dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskannya. Air mata jatuh membasahi pipinya. Cowok itu menarik Clara dalam pelukannya. Clara menangis. Ia berjanji tidak akan pernah menyerah dengan ujian yang Tuhan berikan padanya.
Beberapa tahun kemudian…
Clara bersenandung dengan riang sambil menyusun sarapan di atas meja. “Audy, ayo bangun sayang. Katanya kamu ada lomba pagi ini, kok masih belum bangun sih,” teriak Clara.
Dari arah kamar, Audy berlari ke arah dapur sambil berteriak.
“Iya ma, Audy sudah bangun kok.”
“Jangan lari-lari sayang, nanti kamu jatuh loh.”
Audy segera melahap nasi goreng. Clara tersenyum menatap anaknya itu.
“Sayang aku nanti pulangnya agak malam ya. Soalnya aku harus lembur malam ini,” ujar suami Clara sambil duduk di dekat Audy.
Senyuman Clara tak pernah lepas dari bibirnya. Kalau bukan karena suaminya, mungkin ia sudah mati konyol. Suaminya adalah orang yang menolong Clara di atap sekolah beberapa tahun lalu.
“Terima kasih Tuhan telah memberiku keluarga kecil yang begitu menyayangiku,” bisik Clara penuh syukur. (*)