Teringat di bayangan Hilya sebuah kejadian tak menyenangkan di mana ia harus berurusan dengan obat merah karena luka akibat cakaran kucing beberapa tahun silam. Namun, berbanding terbalik dari ucapannya sebelumnya, Hilya akhirnya langsung mengambil kucing tersebut menggunakan kedua tangannya sambil menutup mata. Aman dan tak ada cakaran, sehingga Hilya membuka matanya dan meletakkan kucing itu perlahan di jalan setapak yang ia pijak.“Hati-hati, ya,” katanya, kemudian bergegas melanjutkan perjalanan menuju rumah keduanya.Untungnya, satpam penjaga masih membukakan gerbang sekolah untuk siswa-siswa yang tiba tepat pada pukul 08.00. Setelah memasuki kawasan sekolah, Hilya lalu mencari sumber air mengalir yang dapat membersihkan tangannya dari kuman-kuman yang mungkin menempel.“Fyuuuh,” Hilya menghela napas berat begitu duduk di bangku kelas seakan-akan telah melewati hari yang panjang, padahal kehidupan paginya baru berlangsung sekitar dua jam.“Kenapa, Hil? Kayak habis kerja berat aja,” Karin tiba-tiba menghampiri Hilya, lengkap dengan cengiran di wajahnya yang khas.Hilya hanya tertawa kecil, masih dengan napas yang cukup terengah-engah.“Btw lomba menulis udah ada pengumumannya, kan?” Tanya Karin.“Iya..” Hilya menunduk.“Aku gak termasuk juara, jadi masih sedikit kecewa. Padahal udah bener-bener berharap di lomba kali ini, soalnya aku belum pernah rasain jadi juara di perlombaan apa pun.”Suasana di antara mereka menjadi cukup hening beberapa saat.“Masa, sih?”Hilya menaikkan alis sambil menatap Karin dengan wajah penuh tanya.“Yang namanya juara itu gak mesti hanya pencapaian dalam bidang akademik, pakai peringkat satu, dua dan seterusnya, atau dapat piagam dan apresiasi dari semua orang,” Karin mulai membuka pembicaraan.“Semua orang pasti pernah menjadi juara di kehidupannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita mengapresiasi diri sendiri atas semua pencapaian kita, sesederhana apapun itu.”Hilya termenung sambil mencerna perkataan Karin.Betul juga, ya. Tak semua keberhasilan dapat diukur dengan pemberian gelar. Bahkan sekadar melawan rasa takut untuk menyeberang atau menolong seekor kucing yang sebenarnya menjadi ketakutan kita pun, telah mampu menjadikan kita sebagai seorang pemenang. Menang melawan sesuatu yang kita anggap sebagai tantangan atau kekhawatiran. Hilya yang mengorbankan banyak waktu istirahatnya demi mengikuti lomba pun telah menjadi sebuah keberhasilan, walau pada akhirnya ia tak mendapatkan penghargaan resmi atas hal tersebut. Tanpa kita sadari, ada banyak keberhasilan yang telah kita lalui selama ini. Bangun lebih awal dibanding hari-hari sebelumnya, mampu mengendarai sepeda setelah jatuh berkali-kali, fokus mengikuti pembelajaran walau dilanda rasa kantuk, dan sebagainya. Kita perlu mengapresiasi setiap pencapaian kecil di kehidupan kita. Dengan begitu, rasa juang dan semangat yang tinggi akan dengan mudah tumbuh dalam jiwa kita. (*)
Fathika RaihaniSMA Plus Al-Ashri GM MakassarIG: @fika2546