Stargazing 1
Suasana libur di pagi hari tidak begitu terasa. Shaila masih harus menyiapkan sarapan untuk seluruh anggota keluarganya, karena hanya dirinya yang libur hari ini. Setelah menyiapkan sarapan, ia rehat sejenak sembari berkelana di beranda media sosialnya.
“Wah, gila sih parasnya, nggak main-main man!” Shaila bergumam sambil menatap kagum pada video seorang anak remaja laki-laki yang berada di dalam layar ponselnya. Kelihatan seperti anak remaja seusianya, atau mungkin lebih tua satu tahun, atau bahkan dua tahun lebih tua darinya. Shaila berniat mengikutinya di media sosial. Toh, ia juga tidak yakin akan diikuti kembali oleh remaja laki-laki tersebut. Dilihat dari pengikutnya yang sudah menyentuh angka dua ribu lebih sih, setidaknya bisa dibilang sudah cukup terkenal di era ini.
Selepas meletakkan piring bekas menyuapi adiknya makan, Shaila kembali memainkan ponselnya untuk tujuan yang tidak begitu jelas. “Hah? Sumpah? Demi apapun? Ini beneran? Ini aku nggak lagi mimpi kan? Dia?- Aaaaaaaaaakkkkkhhhhh.”
Kaye.j_a mulai mengikuti anda (Notif Medsos)
Shaila tampak tidak begitu mengerti akan perasaan yang sedang ia rasakan. Dia seperti merasa menjadi perempuan paling beruntung detik itu juga. Hingga dia melompat kegirangan. Terlihat berlebihan, namun siapa sangka hal tersebut akan menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang dan penuh makna untuk Shaila sendiri, namun bagaimana dengan seorang pengguna media sosial kaye.j_a tersebut?
“Halo, senang mengetahui mu. Terima kasih sudah mengikutiku kembali.”
“Senang berkenalan denganmu juga.”
Kira-kira begitulah isi percakapan mereka lewat pesan hari itu. Seiring berjalannya waktu mereka beralih ke media pengirim pesan yang lebih khusus. Mereka berkenalan, berbagi cerita dan mimpi, memberitahu seberapa melelahkannya hidup akhir-akhir ini untuk satu sama lain setiap harinya.
Suatu hari, hidup lebih berat dirasakan oleh Shaila akhir-akhir ini. Pada dasarnya ia adalah seseorang yang terlahir extrovert. Ia luar biasa membutuhkan Kaye detik ini juga, tapi ia tidak ingin Kaye bertanya tentang masalahnya. Ia hanya membutuhkan kehadirannya saja.
“Kaye, emmmmm, boleh aku tanya sesuatu? Apa yang kamu lakuin kalau kamu lagi ada masalah? Apa kamu bakalan nangis?”
“Iya, Shail? Mau nanya apa, nih? Tapi tunggu deh, kamu baik-baik aja, kan? Kok, nanyanya gitu? Nangis? Ya, mungkin saja, kenapa tidak? Kalau kamu mau nangis juga nggak apa-apa kok.”
“Kamu percaya kalau aku bisa ngelewatin segalanya?”
“Tentu saja. Melelahkan atau seberat apapun hidup akhir-akhir ini, aku selalu percaya kalau kamu bisa ngelewatin segalanya.” Benar saja. Beberapa pesan yang dikirimkan oleh Kaye di waktu Shaila luar biasa membutuhkannya, berhasil membuat Shaila sedikit lebih tenang untuk mengambil langkah ke depannya.
Tapi ternyata hal itu tidak bertahan lama, Shaila kembali kehilangan semangatnya hingga sampai di titik ia kehilangan alasannya untuk hidup. Hidup benar-benar membuatnya luar biasa kelelahan. Ia sudah tidak memiliki tenaga sedikitpun bahkan untuk sekedar memberi tahu Kaye agar setidaknya ia bisa memberinya sedikit alasan untuk tetap bertahan. Pikiran Shaila sudah dipenuhi dengan keinginan untuk mengakhiri hidup. Shaila berniat menenggelamkan dirinya di dalam air, sehingga ia kehilangan cara untuk bernapas, dan akhirnya hidupnya pun berakhir.