“Semelelahkan atau seberat apapun hidup akhir-akhir ini, aku selalu percaya kalau kamu bisa ngelewatin segalanya.”
Iya benar. Kalimat itu. Pesan dari Kaye untuk Shaila hari itu, berhasil menyadarkannya bahwa masih ada orang yang percaya akan dirinya, lantas untuk alasan apa dia tidak mempercayai dirinya sendiri? Shaila pun menangis sejadi-jadinya, dia benar-benar merasa bersalah kepada orang-orang yang dia sayangi dan yang menyayanginya. Ia juga merasa bersalah sekaligus berterima kasih kepada Kaye di waktu yang bersamaan. Entah bagaimana Shaila bisa tiba-tiba mengingat kalimat itu ketika pikirannya sudah dipenuhi dengan keinginan untuk mengakhiri hidup.
“Kaye, hari ini aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Namun di saat detik-detik terakhir aku akan melakukannya, tiba-tiba aku mengingat kalimatmu hari itu. Terima kasih waktu itu kamu sudah mengatakan bahwa kamu selalu mempercayaiku melelahkan atau seberat apapun hidup akhir-akhir ini, aku pasti bisa melewati segalanya. Maaf karena telah memikirkan hal buruk sejauh itu dan mengecewakanmu.”
“Kumohon jangan, Shail. Di masa lalu aku mempunyai teman kecil yang ingin mengakhiri hidupnya sama sepertimu. Waktu itu aku tidak mendengarkannya dan menganggapnya hanya bermain-main saja dengan perkataannya. Tapi ternyata, keesokan paginya aku mendengar kabarnya telah meninggal dunia dan aku merasa sangat bersalah karena telah mengabaikannya ketika dia sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk mendengarkannya. Kamu mengingatkanku padanya, Shail. Mengingatkanku pada rasa bersalah yang bahkan masih aku rasakan sampai hari ini.”
“Maaf karena telah mengingatkanmu pada memori buruk di masa lalu itu, Kaye. Aku tidak bermaksud melakukannya, aku juga tidak tahu kalau kamu punya pengalaman yang serupa dengan hal ini. Kaye, mulai hari ini aku akan mencoba untuk tidak akan pernah berpikir untuk melakukan hal buruk itu lagi. Setidaknya aku melakukan ini untukmu. Aku tidak ingin kamu merasakan rasa bersalah untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama, padahal kamu sudah mencoba memperbaikinya pada kasusku.”
“Tidak, Shail. Kamu harus melakukannya untuk dirimu sendiri. Dengarkan aku, kalau kamu ada di titik terendah di dalam hidupmu, jangan selalu menyalahkan dirimu sendiri. Ingatlah apa yang membuatmu senang, jadi kamu akan merasa sedikit lebih tenang. Tolong jangan pernah berpikir tentang hal buruk yang ingin kamu lakukan sebelumnya, Shaila.”
“Tapi, apakah aku akan baik-baik saja, Kaye?”
“Tentu saja, kamu akan melewati segalanya. Aku akan selalu ada di sini. Kalau kamu mau memberitahuku, aku akan selalu mendengarkannya. Kamu harus selalu ingat alasan kenapa kamu lahir ke dunia ini. Bukan karena kamu nggak berguna, tapi karena ada seseorang yang membutuhkanmu untuk selalu berada di sini.”
“Lalu, bagaimana kalau suatu hari nanti kamu pergi dan aku masih di sini?”
“Aku nggak akan pergi, Shaila. Aku janji sama kamu sebisaku, terlepas dari apapun yang akan terjadi ke depannya itu di luar kendaliku. Shaila, hidup dan bertahanlah untuk hal-hal kecil, misalnya seperti kamu harus mencoba semua makanan enak di dunia. Kita mempunyai mimpi kita bersama, bukan? Kita harus menjadikannya nyata. Jadi mulai sekarang, jangan pernah berpikir untuk melakukannya lagi, okay?”
“Terima kasih untuk selalu ingin mendengarkanku, Kaye. Kalau pada akhirnya kita tidak bisa mewujudkan mimpi kita bersama, aku akan selalu ingat kamu sebagai seseorang yang mendorongku ke atas, selalu berada di sini untuk mendengar dan mengerti aku. Kamu orang yang baik dan jadilah seperti itu sampai kapanpun.”
“Kupikir dunia memang sangat kejam untuk orang-orang baik, Shaila. Hanya ada sedikit orang baik akhir-akhir ini. Itulah kenapa, aku harus menjadi salah satu dari mereka, bukan? Kamu juga harus seperti itu.”
Sharon Luna Nathasya ManaluSMP Negeri 1 MakassarIG : @lunanathasya_