Hingga tiba pembagian rapor, tidak ada yang kudapatkan selain kerugian dan sia-sia hasil belajarku selama ini, aku sedih, aku mendapat peringkat 19 untuk pertama kalinya dalamhidupku. Tidak ada semangatku untuk belajar, tidak lagi ada motivasi dalam hidupku, perjuanganku menuju sukses sudah pupus, rasanya percuma untuk itu, dari kejadian ini aku mulai terbiasa tidak pernah belajar, nyaman sendiri, dan tanganku sama sekali tidak pernah menyentuh buku-buku di rumah, aku sangat kecewa, tidak ada lagi semangatku untuk meraih mimpiku. Tetapi, ibu selalu mendukung dan memberi nasihat agar aku tidak larut dalam kesedihan, tetap fokus untuk belajar dan jangan memimikirkan apa yang harusnya tidak aku pikirkan di usiaku saat ini. Dengan kelembutan ibu aku luluh, kembali bangkit dari keterpurukan bersama ibu.
Pada pertengahan bulan Desember, beberapa hari sebelum porseni, ibuku mengalami sesak napas, karena ginjalnya yang semakin parah, dan dilarikan ke rumah sakit. Dalam mobil ambulans aku hanya bisa menangis melihat ibuku yang setengah sadar, aku sangat rapuh, pikiranku kemana-kemana, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, di mana lagi aku akan bercerita kalau bukan dengan ibuku, aku sayang ibu dia tempatku mencurahkan keluh kesahku, pencapaianku, semua tentang hidupku, hanya ibu tempatku berbagi cerita, bagaimana aku tidak memikirkan itu semua, di saat malam yang hening hanya terdengar suara sirine ambulans, ditambah lagi ibu yang tepat di hadapanku terbaring lemah. Tiba di Rumah Sakit, ibu dibawa ke IGD dan ditangani oleh dokter, setelah beberapa jam ibuku siuman, aku bersyukur masih bisa melihat senyum ibu yang manis.
Keesokan harinya adalah jadwal pertama ibuku di cuci darah pada hari Senin pukul 15:00. Suara roda brankar dorong rumah sakit sudah mulai terdengar di telingaku, pertanda dokter akan segera memindahkan ibuku di ruangan cuci darah. Cuci darah berlangsung selama 2 jam 15 menit. Setelah ibu selesai cuci darah pertama, matanya sudah mulai terbuka sedikit demi sedikit, namun tidak lagi kudengar suara ibuku, yang kutatap hanya tubuhnya.
Selanjutnya, ibuku akan cuci darah kembali pada hari rabu pukul 16:00. Tiba hari cuci darah kedua ibuku, saat waktu salat asar, aku dan sepupuku bergegas untuk ke musala, ayah dan keluarga yang menjaga ibu saat aku ke musala, aku berdoa agar jadwal kedua ibuku lancar, setelah aku salat, aku kembali ke kamar tempat ibu, tidak kusangka saat aku di depan pintu, ibuku kejang-kejang, aku memanggil dokter dan perawat, napas ibuku tidak lagi berirama.
Semua keluargaku sudah mulai membaca surah Yasin dan selalu menyebut lafaz syahadat yang diikuti oleh ibuku. Setelah kurang lebih 5 menit, usaha dokter untuk menormalkan kembali napas ibuku, tidak berhasil. Ibuku sudah tiada. Aku, ayah, adikku, serta keluarga sangat sedih, tangisan histeris semua keluargaku terdengar di ruangan itu, aku merasa putus asa dan tidak ada semangat belajar. Hidupku tiada artinya lagi tanpa ibuku.
Jenazah ibuku sudah ditutup kain kafan, perawat memindahkan ibu ke brankar dorong menuju ke ambulance, suara roda brankar begitu cepat disertai juga tangisanku yang pecah mengiri kepergian ibuku.
Hari-hari kujalani tanpa ibuku, hanya aku, ayah, dan adikku, setelah kepergian ibuku semuanya berubah, kehidupanku, pendidikanku, bahkan ayahku. Ayahku yang dulu mengecewakanku kini kembali menjadi ayah paling baik yang pernah kukenal, banyak yang berubah dari ayahku, mulai dari tutur katanya, sifatnya yang dingin bisa berubah menjadi peduli, sayang, dan penuh tanggung jawab, serta penyesalan. Tapi buat apa penyesalan itu terjadi setelah ibuku tiada, dari sini aku belajar bahwa “Jika sabar tidak menyadarkan, mungkin kehilangan bisa membuat sadar, agar kita lebih menghargai kehadiran seseorang”.
Maaf ibu, jika saya banyak salah, hanya doa yang selalu kupanjatkan untuk ibu, semoga ditempatkan di tempat yang terbaik di sana. Untuk ibuku, dan ibu di seluruh dunia makasih karena telah menjadi ibu yang terbaik dan kuat bagi anak-anaknya. “Family is everything, but mother more than everything”. (*)
HSMSMAN 7 PinrangIG: @hasmiapreliaa