KEKER.FAJAR.CO.ID – Suara hembusan napas keluar untuk kesekian kalinya dari mulut Mahatma. Selalu terdengar napas yang penuh dengan kelelahan, tetapi ia merasa bahwa seluruh dunia adiknya sedang bergantung kepadanya.
Mengesampingkan fakta bahwa ia juga kelaparan, ia menaruh beberapa sisa makanan yang ia temukan di pinggir jalan, berharap dapat mengenyangkan perut adiknya nanti. Mahatma Aditya, seorang pemuda berumur 18 tahun yang mempunyai hidup tidak seberuntung pemuda lainnya. Memberi harapan hidup kepada tangannya yang setiap hari memegang ukulele, dan berharap diberi sedikit imbalan dari orang-orang baik yang ia temuinya.
Terkadang ia merasa bahwa dunia sangat jahat. Di saat orang lain sedang bekerja dan dapat menghasilkan uang yang banyak, mengapa ia tidak bisa seperti mereka? Mengapa ia harus merasakan pahitnya hidup di usianya yang masih muda? Apa semesta tidak menyayanginya? Apa ia tidak pantas untuk bahagia? Ada banyak pertanyaan yang menghantui pikiran Mahatma, tetapi kali ini ia hanya terkekeh, merasa lucu dengan pemikirannya sendiri, kala ia mengingat bahwa ia masih diberi kesempatan untuk bernapas.
Di penghujung hari Rabu pada malam itu, Mahatma tidak langsung pulang kerumahnya untuk memberi sesuap nasi kepada adik. Namun, ia memaksakan dirinya untuk pergi ke pantai, melihat bulan yang bersinar terang pada malam itu.
Kakinya kini berpijak di atas ribuan pasir, perlahan duduk tanpa alas dan mengabaikan fakta bahwa celana yang melekat pada tubuhnya akan kotor. Mahatma menatap ke sekelilingnya, mengambil kesimpulan bahwa hanya dirinya yang tersisa di pantai. Menatap ke arah bulan yang bersinar terang layaknya senyum milik bundanya, beranggapan bahwa sinar bulan tersebut memberikannya kekuatan untuk menjalani hari esok.
Ketika ia mencoba untuk menopang tubuhnya dengan kedua tangannya, ia tidak sengaja memegang sebuah bunga yang terdapat bercak darah di kelopaknya. Ia mengambil bunga tersebut dan melupakan niat awalnya yang ingin bersantai dan hanya melihat ke arah bulan. Ia pegang tangkai bunga tersebut dan ia memutarnya. Mahatma ingat betul tentang bunga yang sedang ia pegang, dandelion. Bunga yang memiliki filosofi harapan, cinta, bahagia, ceria dan setia.
Mahatma tersenyum simpul, ingatannya kembali ke beberapa tahun silam, saat ibunya dengan tersenyum berkata padanya tentang filosofi bunga itu. Ia menahan air mata yang sudah siap untuk turun, dan mengabaikan air laut yang mulai berlomba-lomba untuk menghampirinya. Sekali lagi, Mahatma menghela napas, rasa sesak dan sakit mulai menghampiri sekujur tubuhnya. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara untuk menghilangkan semua rasa keresahan di dalam hatinya. Ia berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja di depan adiknya, untuk tidak membuat adiknya khawatir.
Mahatma tidak menyerah, ia hanya lelah menghadapi kejamnya dunia yang bahkan tak pernah peduli padanya, ia hanya letih untuk tetap berpijak diatas bumi walau semesta menolaknya. Mahatma sadar bahwa ia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap adiknya. Ia sadar bahwa adiknya membutuhkannya.
Manusia sering kali mengucapkan kata “semangat” kepada orang yang sudah lelah akan hidupnya. Namun, sering kali juga manusia lupa bahwa obat dari rasa lelah itu adalah istirahat. Mahatma muak mendengar kata semangat dari beberapa orang yang ia jumpai di pinggir jalan. Ia hanya ingin tertidur sebentar, dan berharap dunia ingin sedikit berbaik hati padanya di hari esok.
Lelah memakai topeng, lelah tertawa bahkan ketika hatinya rapuh, sudah menjadi makanan sehari-harinya. Malam ini, bulan sebagai saksi untuk pertama kalinya Mahatma menbuka topengnya, membiarkan dirinya hancur di atas pasir-pasir yang menemani. Membiarkan dirinya rapuh dengan tangan yang menggenggam bunga dandelion.