Baca Cerpen Dandelion, Kisah Seorang Pemuda yang Merasa Tidak Beruntung

  • Bagikan

Mahatma menangis, ia berhasil membuka topengnya, dengan tangisan yang terdengar pilu, Mahatma mulai berteriak ke arah bulan, “MENGAPA TUHAN TIDAK PERNAH ADIL KEPADAKU? MENGAPA HANYA AKU YANG TERLIHAT MENYEDIHKAN? MENGAPA AKU TIDAK BISA BAHAGIA?! MENGAPA- HIKS.” Ia tak dapat melanjutkan perkataannya, lehernya seperti tercekik. Ia bahkan sudah tak percaya dengan suaranya sendiri. Sudah terlalu banyak kesakitan yang ia tanggung sendiri dan ia simpan dalam hati. Mahatma terus terisak dengan kencang, tak menghiraukan dinginnya malam yang menembus kulitnya. Tak menghiraukan langit yang makin menggelap. Malam ini, hanya diisi dengan satu tangkai bunga dandelion dan tangisan pilu. []———Dengan tubuh yang setengah kotor karena pasir, Mahatma mulai melangkah masuk ke dalam gubuk yang sudah tidak pantas untuk disebut sebagai rumah. Mengandalkan jari telunjuknya untuk memegang kantong yang berisi nasi dan tahu, serta satu tangan yang menggenggam bunga dandelion yang ditemuinya tadi. Mahatma mulai mengedarkan pandangannya dan mencari adiknya, Bagaskara.“Abang dari mana lagi? Kok baru pulang?” tanya Bagaskara sambil mengerutkan dahinya, merasa heran dengan kebiasaan baru abangnya yang pulang ketika pagi buta. “Kan Abang sudah janji mau makan malam bareng aku. Gak ditepatin lagi, nih?,”

Mahatma menunduk, bingung mencari alasan yang tepat untuk berbohong untuk yang kesekian kalinya. “Abang kan cari uang Dek buat kita makan, kok begitu nanya nya?”

Bagaskara terkekeh sinis, kesal dengan jawaban Mahatma yang selalu berulang. Ia menarik Mahatma untuk duduk di atas kayu yang sudah mulai tak dapat mengangkat beban. Mengambil kantong makanan yang dibawa Mahatma dan menaruhnya di lantai. “Abang, bisa gak stop bohongin aku? Bukannya aku sudah bilang buat fokus aja sama diri abang sendiri? Berhenti buat nyari ayah yang bahkan sudah nelantarin kita di gubuk kaya gini. Emangnya abang mau harapin apa? Abang udah lupa sama kata-kata terakhirnya bunda sebelum ninggalin kita? Bunda bilang, kita harus tetep bahagia dengan keadaan kita yang bahkan udah kaya gini,” ujar Bagaskara dengan lelah, Bagaskara hanya ingin yang terbaik untuk abangnya, Bagaskara hanya ingin abangnya bahagia, hanya itu.

Mendengar hal itu, Mahatma mulai menaruh seluruh atensinya ke adiknya. “Bahkan, kalau dalam satu hari itu kita bener-bener gak dapet kesempatan buat makan gapapa bang, setidaknya Tuhan masih ngizinin kita buat hirup udara, buat gunain tubuh kita sebaik-baik mungkin, Tuhan masih ngasih kita kesempatan buat hidup bang. That’s enough. Apalagi yang kita butuhin?”. Menyiksa kerongkongannya sendiri, dengan mata yang memerah. Merasa putus asa dengan keadaan dan berharap abangnya ingin mendengar dirinya sekali saja.“Setidaknya, abang punya satu alasan buat bertahan hidup, kalau memang semua manusia dan dunia benci kita, aku enggak bang,” Mahatma menahan napasnya, membenarkan seluruh perkataan adiknya.“Jadiin aku alasan buat abang tetap hidup, tetep disini sama aku,” bulir-bulir air mata Bagaskara akhirnya jatuh, menahan isakannya sendiri dan membuat aliran deras turun dari matanya. Bagaskara sudah tidak cukup kuat untuk bersandiwara dan berpura-pura tangguh melihat abangnya rapuh seperti ini.

“Masih ada beribu alasan buat kita bahagia bang, ikhlasin ayah sama bunda,” Bagaskara bahkan sudah tak dapat membendung air matanya, membiarkan air matanya berlomba-lomba tuk turun demi meminimalisir rasa sakit yang ia rasakan.

“Adek jangan peluk abang dulu, baju abang kotor,” ucap Mahatma dengan tangisan yang bahkan belum berhenti. Bagaskara tak menghiraukan ucapan Abangnya yang menurutnya konyol “sekarang kita harus bahagia.” menganggapnya sebagai kalimat penutup, Bagaskara memeluknya. Menenggelamkan wajahnya dalam dada Mahatma, merasa aman dan tenang. Sampai kapanpun, Mahatma adalah definisi rumah bagi Bagaskara. []———Mahatma pernah bermimpi tentang kebahagiaan. Ia bermimpi tentang dirinya yang tersenyum tulus untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Menolak lupa waktu terakhir kali ia dapat tersenyum dengan tulus ketika Bundanya masih hidup, Bundanya masih bersamanya dan mengusap lembut kepalanya dengan jemari yang begitu cantik.

Ia merasa bahwa ini adalah keberuntungannya untuk berterima kasih kepada sang bulan yang ingin mendengarkan curahan hatinya. Mahatma menemukan setangkai bunga dandelion yang bersih layaknya baru dipetik. Kali ini, Mahatma tak lagi memegang bunga dandelion dan menangisi takdirnya. Hari ini, Mahatma berhasil tersenyum tulus dengan tangan yang memegang tangkai bunga dan mata yang berbinar menatap ke arah bulan.Mahatma belajar banyak tentang harapan dari bunga dandelion. Ia tersenyum dengan tipis ketika melihat Adiknya meraih medali emas saat perlombaan olimpiade tingkat internasional. Bagaskara melihat keajaiban, seolah-olah Mahatma dibanjiri dengan cinta dan kasih sayang oleh semesta setelah melalui jutaan rasa sakit yang mengerikan.

Mereka telah mensyukuri apa yang telah mereka dapatkan, mereka telah bahagia dengan apa yang mereka punya. Mereka tahu definisi bahagia itu tidak selalu mengenai tentang uang. Terkadang rasa bahagia itu kita dapatkan ketika orang yang kita sayang dapat tersenyum dengan tulus. Bagaskara finds happiness in Mahatma’s face. Mereka telah bahagia.———Kisahku telah berakhir pada bait ini. Satu kalimat yang ingin kusampaikan kepada bunga yang mengajarkanku arti harapan dan kebahagiaan;Dandelion, aku telah bahagia. (*)

Nama: Nur Ramadhani ShalsabilaSekolah: SMP IT Al-Biruni Mandiri Karantina MakassarIG @triviasha

  • Bagikan

Exit mobile version