KEKER.FAJAR.CO.ID – Gelap menggantikan senjanya. Langit kini mulai menjatuhkan deras air matanya. Aku menaikkan kaca mobilku, menatap tiap bulir-bulir air yang terjatuh membasahi permukaan tanah.
Kedua bola mataku menatap ke arah luar kaca, melihat orang-orang yang masih bekerja demi menghasilkan sesuatu yang dinamakan nafkah untuk keluarga tersayang. Sayangnya seseorang harus mengusirnya untuk pulang ke rumah. Bukan tanpa alasan orang tersebut menyuruh mereka pulang, mereka disuruh demi menghindari wabah yang datang tanpa diundang dan membuat masyarakat menderita. Satu kalimat untuk wabah itu, Yah sangat meresahkan.
Aku membencinya, sangat benci! Namun aku sendiri tidak tahu kapan badai ini akan berlalu. Adanya virus corona sukses membuat masyarakat menderita. Aku merindukan sekolahku, aku merindukan teman-teman ku. Aku rindu belajar di sekolah. Aku tidak ingin tinggal di rumah dan hanya menatap ke arah layar laptop dan juga gawai. Berbicara via daring sangat membosankan. Aku ingin bebas dan aku ingin bersosialisasi dengan masyarakat yang lain.
“Kamu kenapa nak? Kok nangis?” Tanya Ayah yang ternyata mendengar tangis kecilku dari samping.Aku menghapus air mataku, menatap ayah yang sedang fokus menyetir mobil. “Nggak ayah, Kaila nggak nangis kok.” Jawabku dengan lirih. Ayah menatap ku sekilas dengan raut wajah terlihat bingung. “Nggak nangis tapi kok pipinya basah? Ada apa? Coba cerita sama ayah.”
Aku menarik napasku dalam. Sepintar apapun aku menyembunyikan tangis, ayah pasti selalu tahu jika aku sedang bersedih. “Aku rindu sekolah ayah. Aku rindu teman teman. Aku rindu suasana yang dulu ayah.” Air mataku terjatuh lagi. Lalu tangan kekar Ayah terangkat mengelus surai hitam lebatku dengan lembut. “Sabar ya, semua yang terjadi ada hikmahnya. Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang sangat berat kepada setiap hamba-hamba-Nya.” Balas Ayah berusaha menenangkan. Namun air mataku terus saja membanjiri wajahku.
“Aku rindu ibu.” Tiga kata yang membuat ayah terdiam membisu. Kulihat dari sela-sela tangisku, ayah sedang meringis, menahan air mata yang tertampung dalam pelupuk matanya. Aku tahu ayah juga terluka.
Ibu telah pergi mendahuluiku dan ayah. Tubuh ibu tidak kuat menahan hebatnya virus itu sehingga ia memutuskan untuk menyerah dan pergi meninggalkan kami berdua.Ayah terisak, membuat sesak di dadaku semakin bertambah. “Ibu Sudah bahagia di sana, jangan nangis lagi ya nak, nanti ibu sedih lihat putri cantiknya menangis.” Ucap Ayah lagi. Ia mulai menghapus air matanya kemudian tersenyum ke arahku kala lampu merah menghentikan laju mobil kami.
“Harusnya kejadian ini nggak boleh buat kita jadi patah semangat. Ayok bangkit kamu sama Ayah pasti bisa hadapi badai ini. Berdoa sama Tuhan supaya virus corona bisa hilang dan pergi untuk selama lamanya. Ingat untuk tetap semangat ya, Kamu pasti bisa. Anak ayah hebat kayak ibunya, anak ayah kuat kayak ayahnya.” Ujar ayah bersemangat meski aku tahu jika di dalam hatinya masih ada keraguan. Namun demi melihat senyum yang terbit di wajah ku ia tetap berusaha untuk menyemangatiku.