Gadis bernama Lily itu kembali tersenyum dan menepuk tempat kosong di sampingnya, mengisyaratkan aku untuk duduk. Aku mengerti dan duduk di sampingnya. Kini kaki kami tergantung di udara. Kuperhatikan ia yang mulai membuka dan memakan ice cream miliknya.”Kau lebih suka sunrise atau sunset?” ia bertanya.”Sunrise,” kujawab.”Kebanyakan orang yang menyukai sunrise karena mereka selalu yakin jika hari esok akan jauh lebih baik dari hari – hari sebelumnya. Lalu mengapa kau memilih untuk tidak melihat hari esok lagi?” Lily kembali bertanya.
Aku mengalihkan tatapan. “Aku merasa dunia terus berjalan dan hanya aku yang tertinggal di belakang,” jawabku seadanya.”Berarti kau salah.” Aku menoleh saat Lily membalas ucapanku, ia ikut menatapku, lalu tatapanya beralih ke arah orang – orang yang berlalu-lalang di bawah sana. Lebih tepatnya ke arah ayah dan anak yang sedang bertengkar di bawah sana.”Ayah menyuruhmu les bukan untuk mendapatkan nilai seburuk ini!”Plak!Pria itu memukuli anaknya menggunakan kertas – kertas yang ada di tangan. Sedangkan sang anak hanya terdiam dengan tangan yang bergetar serta air mata yang mulai turun.”Tahun ini kau tidak boleh ikut berlibur dengan ayah, ibu, dan kakakmu. Kau harus belajar! Ayah tidak suka anak bodoh!”Plak!Si pria paruh baya kembali memukuli kepala anaknya dan berlalu pergi begitu saja, meninggalkan sang anak yang kini terduduk menangis sembari memegangi kepalanya seperti orang ketakutan.
Menyakitkan.”Dia juga tertinggal di belakang. Hanya tubuhnya yang bertumbuh dewasa –” Aku menoleh menatap Lily, ia juga ikut menatapku sembari tersenyum, “tapi tidak dengan jiwanya.” Ia melanjutkan, sembari menggeleng samar.”Apa kau bisa melihat pria berjas yang berdiri di dekat lampu jalan itu?” Lily kembali bertanya, aku mengikuti arah pandangnya dan mengangguk. “Dia adalah pria dewasa yang sedang mencari pekerjaan, aku selalu melihatnya berjalan sembari menangis di sekitar sini. Dia juga tertinggal sepertimu,” lanjutnya.Aku menatap pria berjas itu, raut wajahnya terlihat sangat lesu dan putus asa.
“Sekarang coba lihat sekumpulan siswa di dekat bangunan sana.” Aku kembali mengikuti arah tunjuknya, terlihat di sana sekumpulan siswa terlihat tertawa puas dengan siswa lain yang bersimpuh di hadapan mereka. “Siswa itu selalu di-bully oleh teman -temannya. Dia juga tertinggal di belakang, sepertimu.” Lanjutnya, lagi.
“Sekarang, apa kau bisa mengerti maksudku? Di dunia ini, kau tidak pernah tertinggal sendirian. Banyak orang yang menderita di luar sana, sama sepertimu. Apa kau tahu apa yang membuat mereka bertahan? Karena mereka percaya tentang porsi penderitaan dan kebahagiaan yang telah diatur Tuhan. Hari ini mereka menderita, tapi mereka percaya bahwa mereka akan menjadi manusia yang bahagia suatu saat nanti. Kau juga harus percaya itu. Kau akan bahagia, memang bukan hari ini, tapi nanti.”Aku tidak pernah tertinggal sendirian.. aku belajar untuk percaya.”Terima kasih.”Untuk pertama kalinya, senyumanku merekah tulus, ke arah seseorang yang memberitahuku tentang hukum porsi penderitaan dan kebahagiaan, serta mengubah pandanganku tentang dunia mulai saat itu.(*)