KEKER.FAJAR.CO.ID – “Melia, kamu saya daftarkan olimpiade matematika,” ucap Bu Nia –guru matematika– sebelum ia keluar dari kelas. Setelah mendengar pernyataan tersebut, Melia sama terkejutnya dengan teman sekelasnya yang lain.
Melia Apriliani. Gadis dengan keterbelakangan ekonomi, kecerdasan rata-rata, hingga objek terbaik untuk direndahkan oleh teman sekelasnya. Dua tahun bersekolah di sini, tentu tidak mudah untuk Melia. Gunjingan dan makian sering ia dapatkan meski tidak berbuat apa-apa.
“Bu Nia ngasih jatah lomba ke orang yang salah, deh,” ucap Gendis dengan nadanya yang sangat menyebalkan.
“Mending kasih ke Eliz, udah pasti menang,” Vanesa ikut dalam pembicaraan itu.
“Kalau sampai malu-maluin sekolah, habis lo,”ancam Gendis tepat di depan mata Melia.
Melia hanya tertunduk mendengar semua itu. Benar kata mereka, Eliz yang notabenya adalah juara umum di sekolah, peluangnya untuk menang tentu lebih besar dibandingkan dengan Melia yang nilai ujiannya pun pas-pasan.
Perpustakaan sekolah kian makin sepi saat jam menunjukkan pukul 5 sore. Sebentar lagi langit mulai gelap, Melia masih setia dengan handphone dan beberapa buku yang dipinjamnya. Sejak diminta untuk mengikuti olimpiade tersebut, Melia mulai mencari sumber-sumber materi untuk dipelajarinya, mulai dari buku, video pembelajaran dari internet, dan sebagainya.
“Melia, baiknya kamu bergegas pulang. Perpustakaan sudah mau ditutup,” peringat Bu Eka –penjaga perpustakaan– yang melihat Melia masih tertinggal di sana.
“Oh, iya. Baik, Bu,” kemudian Melia bergegas mengemasi barang-barangnya, kemudian pulang dengan mengndarai sepedanya.
Perpustakaan selalu menjadi tempat untuk Melia menghabiskan waktunya sebelum pulang ke sekolah. Tempat yang ia gunakan untuk memaksimalkan pencarian media belajarnya. Meski hasil pembelajaran Melia tidak berbuah hasil sepenuhnya, ia tidak pernah berhenti belajar agar dapat dipandang baik oleh teman-temannya.
Satu minggu berlalu, hingga tiba pada hari perlombaan. Selama satu minggu ini, Melia banyak belajar melalui internet sebagaimana ia biasanya belajar, karena mengikuti kelas tambahan akan membuatnya lebih terpuruk secara finansial. Melia memilih untuk menggunakan satu-satunya alat elektronik yang dimilikinya. Internet saat ini memiliki semuanya dan Melia memilih untuk menggunakannya sebagai sumber pembelajarannya.
Venue tempat dilaksanakannya olimpiade ini penuh dengan orang-orang dari berbagai sekolah. Melia bisa mengenali beberapa orang di antaranya, mereka yang selama ini Melia tahu sering menjadi juara kelas.
“Loh, ada Melia ternyata. Bukan Eliz lagi nih yang ikut lomba?” ucap Jilov –teman SMP Melia– menyapa dengan sedikit sindiran.
“Modal youtube ikut olimpiade? Sekolah lo lagi ngelawak apa gimana?” tawaan renyah terdengar setelah Jia melontarkan perkataannya.
Seluruh peserta kini memasuki ruang pertandingan. Mereka diminta untuk mengerjakan lembaran demi lembaran soal, hingga soal-soal dalam bentuk lisan. Hingga waktu pengumuman
“Juara dua, jatuh kepada … Jia Anastasya dari SMA Tri Bakti!” umum sang pembawa acara dari atas panggung. Jia kemudian beranjak menaiki tangga ke atas panggung.
“Go, go, Jia!” sorak Jilov dari tempatnya.
Jia kemudian menerima pemberian medali, piala dan sertifikat di atas panggung. Setelahnya, dilanjutkan pengumuman juara berikutnya. Jilov melirik pada Melia yang sudah tertunduk dengan pasrah. Ia kemudian mendekat pada Melia.
“Gimana-gimana? Gue udah rapi belum? Biar kalau di atas tetap cetar,” ucap Jilov seraya mengibaskan rambutnya. Melia tidak berkutik sedikit pun. Ia yakin setelah ini pasti nama Jilov yang akan disebutkan.
“And the winner is … Melia Apriliani dari SMA Nusa Bangsa!” gemuruh tepuk tangan terdengar menjadi samar dengan ketidakpercayaan Melia setelah mendengar namanya dipanggil.
“You did it, Melia,” ucap Bu Nia yang mendampingi Melia sambil tersenyum dengan bangga. Jia dan Jilov bahkan menunjukkan ekspresi yang sama, tidak percaya.
Melia kemudian naik ke atas panggung dan menerima pemberian medali, piala, dan sertifikatnya. Melia lalu mengangkat tinggi-tinggi piala yang diraihnya, disambut dengan tepuk tangan yang tak kalah meriahnya. (*)
Story by Cita Panrita