Apa itu Brainrot, Pembusukan Otak Akibat Konten Receh di Media Sosial

  • Bagikan

Kata brainrot diumumkan menjadi Word of The Year 2024 oleh Oxford University Press. Istilah ini menjadi topik yang mendapat perhatian tahun 2024 lantaran dampak penggunaan media sosial yang semakin mengenaskan.

Brainrot atau “pembusukan otak” adalah istilah yang menggambarkan suatu kegemaran yang berlebihan atau obsesi terhadap konten digital hingga menyebabkan “pembusukan” otak.

Brainrot ini muncul akibat seseorang yang mengkonsumsi konten digital yang berkualitas rendah atau receh secara berlebihan.

Istilah ini telah mendapatkan arti baru pada masa digital, khususnya dalam satu tahun terakhir. Semula terkenal di platform media sosial—terutama di TikTok di kalangan generasi Z dan generasi Alpha—’kerusakan otak’ kini diterapkan lebih luas, termasuk dalam jurnalisme utama, di tengah kekhawatiran masyarakat mengenai dampak buruk dari konsumsi berlebihan terhadap konten yang berani.

Pada tahun 2024, ‘kerusakan otak’ digunakan untuk menggambarkan sebab dan efek dari fenomena ini. Istilah ini merujuk kepada konten yang rendah kualitas dan nilai yang dapat dijumpai di media sosial dan internet, serta efek merugikan yang ditimbulkan bagi individu atau masyarakat akibat mengakses jenis konten tersebut.

Istilah ini juga mulai digunakan lebih spesifik dan konsisten terkait dengan budaya berani. Sering kali digunakan secara humoris atau sarkastik oleh komunitas berani, istilah ini sangat berhubungan dengan jenis konten tertentu—termasuk seri video Skibidi Toilet yang viral dari kreator Alexei Gerasimov yang menampilkan toilet humanoid, serta meme ‘hanya di Ohio’ yang diciptakan pengguna, yang merujuk pada peristiwa aneh di negara tersebut. Konten ini telah melahirkan ‘bahasa kerusakan otak’ baru—seperti ‘skibidi’ yang berarti sesuatu yang konyol, dan ‘Ohio’ yang berarti sesuatu yang aneh atau tidak biasa—yang mencerminkan tren kata-kata yang berkembang yang berasal dari budaya tantangan viral sebelum menyebar menarik ke ‘dunia nyata’.

Sekarang, diskusi yang lebih mendalam dan serius tentang kemungkinan efek negatif dari konsumsi konten ini secara berlebihan terhadap kesehatan mental, terutama di kalangan anak-anak dan remaja, juga semakin meningkat. Di awal tahun ini, sebuah pusat kesehatan mental di AS bahkan merilis rekomendasi berani tentang cara mengenali dan menghindari ‘kerusakan otak’.

Nurul Muthmainnah Karnadi (Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia, Magang di PT Fajar Media Koran)

  • Bagikan