KEKER.FAJAR.CO.ID – Pagi di Pondok Pesantren Nurul Huda, dimulai dengan udara sejuk dan gema ayat-ayat suci. Seorang santri baru bernama Ayyub, duduk termenung di sudut halaman masjid.
Wajahnya tampak kusut, matanya kosong menatap tanah. Suasana pondok yang penuh aktivitas membuatnya merasa asing.
Ayyub bukanlah anak pesantren pada awalnya.
Hidupnya di kota terbiasa dengan kebebasan. Ayahnya, seorang pengusaha sukses, mengirimnya ke pesantren agar ia belajar tanggung jawab dan agama. Namun, bagi Ayyub, semua ini terasa seperti hukuman.
Hari-hari pertama di pondok, Ayyub sering menyendiri. Saat santri lain sibuk menghafal Al-Qur’an atau berdiskusi tentang kitab kuning, ia lebih suka mengurung diri di kamar atau duduk di taman. Beberapa santri mencoba mendekatinya, tapi ia hanya menjawab seadanya.
“Ayyub, kamu tidak ikut kajian?” tanya Fadhil, salah satu santri senior.
Ayyub menggeleng pelan. “Aku tidak terbiasa,” jawabnya singkat.
Fadhil tersenyum. “Awalnya memang sulit, tapi lama-lama kamu akan menyukai suasananya. Di sini, kita belajar bukan hanya tentang agama, tapi juga tentang hidup.”
Ayyub tidak menjawab. Kata-kata Fadhil mengusik pikirannya, tapi hatinya masih berat menerima keadaan.
Pada suatu malam, selepas tahajud, Ayyub duduk sendirian di belakang masjid. Cahaya rembulan menyinari wajahnya yang penuh keraguan. Ia merindukan rumah, kebebasan, dan kehidupannya yang dahulu.
Namun, di sisi lain, ia teringat wajah ayahnya yang tegas saat berkata, “Ayah ingin kamu menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, nak. Pesantren adalah tempat terbaik untukmu.”
Pagi berikutnya, Ayyub memutuskan mencoba berbaur. Ia mengikuti pelajaran dengan setengah hati dan mulai berusaha menghafal Al-Qur’an, meskipun sering merasa kesulitan. Dalam perjalanan itu, ia bertemu dengan Ustaz Haris, seorang guru yang dikenal bijaksana.
“Ayyub, kenapa terlihat lesu?,” tanya Ustaz Haris setelah melihat Ayyub kesulitan dalam pelajaran.
Ayyub menunduk. “Saya merasa tempat ini tidak cocok untuk saya, Ustaz. Semua terasa sulit dan jauh dari apa yang biasa saya lakukan.”
Ustaz Haris tersenyum lembut. “Ayyub, hijrah tidak pernah mudah. Rasulullah pun menghadapi banyak rintangan saat berhijrah. Tapi ingat, setiap langkah yang kamu ambil untuk mendekatkan diri kepada Allah, sekecil apa pun, akan dicatat sebagai pahala. Jangan fokus pada kesulitan, tapi lihatlah manfaat di baliknya.”
Kata-kata itu perlahan menggugah hati Ayyub. Ia mulai menyadari bahwa perjuangannya di pondok adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang lebih baik. Hari-hari berikutnya, ia mencoba mengikuti semua kegiatan dengan lebih ikhlas. Ia belajar bergaul dengan santri lain, mengikuti kajian dengan lebih serius, dan berusaha menuntaskan hafalannya meski sering terbata-bata.
Bulan demi bulan berlalu, Ayyub mulai merasakan perubahan. Salat yang awalnya hanya dianggap kewajiban, kini menjadi momen yang ia nantikan. Ia merasa lebih tenang setiap kali sujud, seolah seluruh beban di hatinya terangkat.
Pada suatu malam, saat sesi muhasabah bersama, Ayyub mendapati dirinya menangis. Ia teringat semua kesalahan yang pernah ia lakukan, kebandelannya di rumah, dan kekecewaan yang mungkin dirasakan oleh ayahnya. Dalam hati, ia berdoa, memohon ampunan dan kekuatan untuk terus memperbaiki diri.
Ketika liburan tiba, ayah Ayyub datang menjenguk. Melihat putranya yang kini lebih tenang dan penuh perhatian, ia merasa haru. “Kamu terlihat berbeda, nak,” ujar ayahnya.
Ayyub tersenyum.
“Pesantren ini mengajarkan banyak hal, Yah. Aku paham kenapa Ayah mengirimku ke sini. Terima kasih telah peduli.”
Hari itu, langit pondok terasa lebih cerah. Ayyub menyadari bahwa hijrah adalah proses panjang, tetapi ia percaya bahwa setiap langkahnya di pondok ini adalah perjalanan menuju kebaikan. (*)
Muh. Irfan
Pondok Pesantren Assalam Timbuseng
IG @acca____14