KEKER.FAJAR.CO.ID – Sore itu, Alya melempar tas sekolahnya ke sofa dengan kesal. Hari ini ia kembali dimarahi oleh kakaknya, Dimas, hanya karena lupa membawa payung saat hujan turun.
“Kenapa sih Kak Dimas selalu nyalahin aku?,” gumam Alya sambil mengempaskan tubuhnya ke sofa.
Dimas, yang berdiri di dapur sambil membuat teh, mendengar keluhan itu. Ia menghela napas panjang, merasa lelah bukan karena marah, tapi karena cemas.
“Alya, kamu tahu nggak, kalau kehujanan itu bisa bikin sakit? Aku cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa.”
Namun, bagi Alya, kata-kata itu terdengar seperti omelan lagi.
“Aku udah gede, Kak. Aku tahu cara jagain diri sendiri,” jawabnya ketus.
Dimas terdiam. Ia ingin menjelaskan, bahwa dirinya khawatir karena Alya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kedua orang tua mereka meninggal tiga tahun lalu.
Tapi setiap kali ia mencoba menunjukkan perhatiannya, yang keluar dari mulutnya selalu berupa teguran.
Alya selalu salah paham. Baginya, Dimas adalah kakak yang keras kepala, selalu menuntut, dan tidak pernah mengerti perasaannya.
Keesokan harinya, Alya bangun terlambat. Dimas sudah menyiapkan sarapan di meja, seperti biasa. Tapi Alya, yang masih kesal, hanya mengambil roti tanpa bicara sepatah kata pun.
“Jangan lupa bawa jaket. Di luar dingin,” kata Dimas sambil melihat Alya yang bersiap pergi.
“Aku nggak perlu diingatkan terus, kak,” balas Alya ketus sebelum membanting pintu rumah.
Dimas hanya menatap pintu itu dengan wajah penuh kesedihan. Ia tahu Alya masih marah, tapi ia selalu berusaha sabar. “Aku cuma mau kamu baik-baik aja,” bisiknya pada diri sendiri.
Sore itu, hujan turun dengan deras. Alya yang lupa membawa payung lagi, memilih menunggu di halte. Namun, setelah hampir satu jam, hujan tak kunjung reda.
Sementara itu, Dimas, yang sudah tahu kebiasaan Alya, bergegas membawa payung ke halte tempat adiknya biasa menunggu.
Saat ia tiba, ia melihat Alya sedang berdiri di pinggir jalan, mencoba menyetop angkot. Di detik berikutnya, sebuah mobil melaju kencang, tak menyadari Alya yang melangkah ke jalan.
“Dek, awas!,” Dimas berteriak, berlari sekencang mungkin.
Dalam hitungan detik, Dimas mendorong Alya ke sisi jalan. Tubuhnya sendiri tersambar mobil yang melaju.
Semua terasa seperti mimpi buruk bagi Alya. Ia melihat Dimas tergeletak di jalan, tubuhnya penuh darah. Tangisnya pecah, ia memeluk kakaknya sambil terus memanggil namanya.
“Kak, jangan pergi… Aku… Aku salah. Aku nggak pernah ngerti… Kak, maafin aku!”
Dimas tersenyum lemah, dengan napas tersengal-sengal. “Kamu… nggak salah, Alya. Aku… cuma pengen… kamu selamat.”
Kata-kata terakhir itu menjadi pukulan paling besar bagi Alya. Saat ambulans datang, semuanya sudah terlambat. Dimas pergi untuk selamanya.
Di rumah, Alya menemukan sebuah buku catatan di kamar Dimas. Di dalamnya, ada banyak tulisan tentang dirinya.
“Alya lupa bawa jaket lagi. Aku marah-marah, tapi sebenarnya aku takut dia sakit.”
“Hari ini Alya nggak makan malam. Aku tahu dia sibuk, tapi aku ingin dia tetap jaga kesehatan.”
“Aku nggak tahu cara ngomong ke Alya kalau aku sayang banget sama dia. Aku cuma mau dia baik-baik aja.”
Alya menangis membaca tulisan itu. Ia sadar, semua kemarahan kakaknya selama ini hanyalah cara Dimas untuk melindunginya. Tapi penyesalan itu datang terlambat. Kakaknya, satu-satunya keluarga yang ia punya, sudah tiada.
Kini, setiap kali hujan turun, Alya selalu membawa payung. Bukan karena takut sakit, tapi karena ia tahu, itulah yang Dimas inginkan. (*)
Ade Rafli Arifki
MA PPM Cendekia Puruhita Ma’had Manailil Ulum Gowa
IG@ rflii_m1