Cerpen KeKeR: Sepucuk Surat untuk Hana

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Mentari pagi menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Aira. Ia menggeliat, meraih sebuah buku catatan lusuh di atas meja. Hari itu terasa berbeda, sebab ia berniat menulis sepucuk surat untuk Hana, sahabatnya sejak kecil.

“Hana, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu,” tulis Aira dengan tangan gemetar. Ada rindu yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.

Aira dan Hana tumbuh bersama di desa kecil di pinggiran kota. Mereka sering bermain di bawah pohon mangga tua, berceloteh tentang impian masing-masing. Hana ingin menjadi pelukis, sementara Aira bercita-cita menjadi penulis.

Namun, semuanya berubah ketika Hana pindah ke kota besar bersama keluarganya lima tahun lalu. Awalnya, mereka sering bertukar surat, tapi seiring waktu, kesibukan dan jarak membuat komunikasi itu perlahan menghilang.

Aira menatap foto usang yang tergantung di dinding kamarnya. Foto itu memperlihatkan dua gadis kecil yang tersenyum lebar sambil memegang tangan satu sama lain.

“Aku rindu kamu, Hana,” gumamnya lirih.

Beberapa hari kemudian, sepucuk surat datang. Aira hampir tak percaya melihat nama pengirimnya. “Hana.”

Dengan tangan bergetar, ia membuka amplop itu dan mulai membaca.

“Dear Aira,
Apa kabar? Aku kaget saat menerima suratmu. Terima kasih sudah menghubungiku lagi. Aku rindu masa-masa kita bermain di bawah pohon mangga tua itu. Kamu tahu? Aku sering menceritakan tentang persahabatan kita kepada teman-teman baruku di kota ini. Tapi ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Aira. Aku… sakit. Dokter bilang aku mengidap penyakit yang serius. Aku takut, tapi aku tahu kamu pasti akan menyemangatiku seperti dulu.

Aku ingin bertemu kamu, Aira. Kalau sempat, datanglah ke rumah sakit tempatku dirawat. Aku akan sangat senang melihatmu lagi.

Sahabatmu,
Hana.”

Aira terdiam. Air matanya jatuh membasahi kertas itu. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengemas barang-barangnya dan berangkat menuju kota tempat Hana dirawat.

Setelah perjalanan panjang, Aira tiba di rumah sakit yang disebutkan Hana. Di sana, ia menemukan Hana sedang duduk di ranjang rumah sakit, tampak lemah namun tetap tersenyum ketika melihatnya.

“Aira!,” Hana memekik pelan. Matanya berbinar-binar meski tubuhnya terlihat ringkih.

“Hana…” Aira mendekat, memeluk sahabatnya erat. Rasa rindu yang terpendam selama bertahun-tahun seketika terobati.

Mereka berbincang lama, mengenang masa kecil dan berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Aira merasa waktu seakan berhenti.
“Aku takut, Aira,” bisik Hana di tengah percakapan mereka.

Aira menggenggam tangan Hana erat. “Kamu nggak sendiri. Aku di sini untuk kamu, seperti dahulu.”

Hari-hari berikutnya, Aira sering menemani Hana di rumah sakit. Ia membawa buku dan membacakan cerita-cerita yang ia tulis untuk Hana. Di setiap halaman, ia selalu menyisipkan harapan agar Hana bisa sembuh.

Namun, takdir berkata lain. Beberapa bulan kemudian, Hana berpulang. Dunia Aira terasa runtuh. Sahabat yang ia anggap seperti saudara kandung telah pergi untuk selamanya.

Setahun berlalu, Aira kembali ke desa mereka. Ia berdiri di bawah pohon mangga tua sambil membawa buku catatan yang dahulu ia gunakan untuk menulis surat untuk Hana. “
“Aku menepati janjiku, Hana. Aku akan menulis kisah kita,” katanya pelan.

Dengan air mata yang mengalir, ia mulai menulis tentang persahabatan mereka, tentang pohon mangga, tentang surat-surat, dan tentang keberanian Hana menghadapi rasa takutnya.

Meski Hana telah tiada, persahabatan mereka tetap hidup dalam hati Aira. Ia tahu, di suatu tempat di atas sana, Hana sedang tersenyum melihatnya. (*)

Mawar

SMAN 13 Gowa

IG
@mawar_syaaa

  • Bagikan

Exit mobile version