Cerpen KeKeR: Senja di Ujung Jalan Kenangan

  • Bagikan
freepik

KEKER.FAJAR.CO.ID – Udara sore di kota kecil itu masih sama seperti dahulu, hangat dan menyimpan aroma nostalgia. Angin berembus pelan, mengusik dedaunan di sepanjang jalan yang pernah menjadi saksi bisu masa kecilku.

Aku menelusuri trotoar yang mulai retak, melewati warung kopi tua yang dulu sering kudatangi bersama ayah.

Setelah bertahun-tahun merantau, aku akhirnya pulang. Kota ini tak banyak berubah, hanya saja waktu telah membuatnya tampak lebih tenang, lebih sunyi.

Toko-toko kecil masih berdiri di tempat yang sama, beberapa di antaranya telah berganti pemilik, tetapi bangunannya tetap mempertahankan bentuk lamanya.

Langkahku terhenti di depan sebuah sekolah dasar. Gerbang besinya sedikit berkarat, dan catnya mulai mengelupas. Aku tersenyum samar, mengingat hari-hari ketika aku masih berseragam merah putih, berlari-lari di lapangan bersama teman-teman. Waktu itu, hidup begitu sederhana.

Aku berjalan lebih jauh, menyusuri jalan yang dahulu selalu kulewati sepulang sekolah. Di sana, aku menemukan rumah Bu Rina, penjual es krim favoritku. Warungnya masih berdiri, meskipun lebih sepi dibanding dulu. Aku melangkah masuk, dan seorang wanita tua dengan senyum hangat menyapaku.

“Kau anak Pak Rudi, bukan?,” tanyanya dengan suara pelan.
Aku terkejut, lalu tersenyum. “Iya, Bu Rina. Saya baru pulang setelah lama merantau.”

Bu Rina tertawa kecil. “Aku ingat kau selalu membeli es krim rasa cokelat di sini. Mau coba lagi?.”

Aku mengangguk.

Saat es krim itu menyentuh lidahku, rasanya sama seperti dahulu, manis dan dingin, membawa kembali kenangan masa kecil yang hampir terlupakan.

Setelah mengobrol sebentar dengan Bu Rina, aku kembali berjalan. Langkahku membawaku ke tepi sungai kecil yang membelah kota ini. Dahulu, aku dan teman-teman sering bermain di sini, membangun kapal dari daun dan membiarkannya terbawa arus.
Sekarang, sungai itu lebih sepi, hanya terdengar gemericik air yang mengalir perlahan.

Aku duduk di tepi jembatan kayu, memandang langit yang mulai berubah jingga. Aku teringat seseorang, Rina, sahabat masa kecilku. Kami selalu bersama, berbagi cerita dan mimpi. Aku pernah berjanji padanya bahwa suatu hari aku akan kembali ke kota ini, dan kami akan melihat senja bersama lagi.

Namun, aku terlambat. Aku mendengar kabar bahwa Rina telah pergi setahun lalu karena sakit. Aku tidak pernah sempat menemuinya, tidak sempat mengucapkan selamat tinggal.

Aku mengeluarkan sebuah surat lusuh dari saku jaketku. Surat terakhir darinya, yang baru kutemukan beberapa bulan lalu di tumpukan buku lama.

“Aku tahu kau pasti akan kembali suatu hari nanti. Jika kau datang dan aku sudah tidak ada, jangan sedih. Duduklah di jembatan kayu itu, dan lihatlah senja untukku. Kita tetap melihatnya bersama, meskipun di dunia yang berbeda.”

Aku menghela napas, merasakan air mata menggenang di sudut mata. Senja di hadapanku begitu indah, seolah-olah Rina masih ada di sini, tersenyum di sampingku. Meskipun kota ini berubah, kenangan tetap abadi. Aku datang untuk mengingat, untuk merasakan kembali setiap jejak yang pernah kutinggalkan. Aku tahu, aku akan selalu membawa kota ini di hatiku, bersama orang-orang yang pernah mengisi hidupku.

Senja perlahan tenggelam, membawa serta rinduku ke dalam keheningan malam. (*)

Piaggio Nur Rahman

SMPN 5 Barru

IG @piorahmann.__

  • Bagikan

Exit mobile version