KEKER.FAJAR.CO.ID – Halo Sobat KeKeR, kebiasaan menimbun barang mungkin terlihat sepele. Namun jika dibiarkan berlarut-larut, bisa berdampak pada kesehatan mental dan kehidupan sosial seseorang.
Beberapa orang sulit membuang barang karena menganggapnya masih bermanfaat. Sementara yang lain menumpuk barang tanpa alasan jelas hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Rahayu Rahmadhani asal SMK Telkom Makassar, mengakui bahwa ia sering kesulitan membuang barang-barang bekas, terutama yang memiliki kemasan menarik.
“Kadang packaging-nya lucu atau aku pikir masih bisa dimanfaatkan, tapi lama-lama malah numpuk dan jadi sampah,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Rastiyanti dari SMKN 3 Takalar mengatakan, bahwa kebiasaan menimbun barang bisa berdampak negatif pada aktivitas belajar dan kehidupan sosial.
“Kalau meja penuh barang, susah fokus belajar. Akhirnya malas mulai belajar, dan kalau rumah penuh barang, bisa malu ajak teman datang. Jadi makin jarang bersosialisasi,” tuturnya.
Menurut dr Muh Gatra Pratama, SpKJ, seorang psikiater dan edukator kesehatan mental, kebiasaan menimbun barang yang berlebihan bisa menjadi tanda Hoarding Disorder (HD). Gangguan ini termasuk dalam kategori Obsessive-Compulsive and Related Disorders (OCRDs).
“Orang dengan HD cenderung sulit membuang barang, terlepas dari nilai atau kegunaannya. Mereka menyimpan barang bukan karena butuh, tetapi untuk menekan kecemasan dan ketidaknyamanan mereka,” urainya.
Faktor penyebab Hoarding Disorder bisa disebabkan oleh berbagai faktor, baik genetik, neurobiologis, maupun pengalaman traumatis. “Secara genetik, jika ada anggota keluarga yang mengalami HD, risikonya lebih tinggi. Dari aspek neurobiologi, gangguan ini berhubungan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan glutamat, yang memengaruhi kecemasan, kepuasan saat mengumpulkan barang, serta kesulitan mengambil keputusan,” ujarnya.
Selain faktor biologis, pengalaman traumatis juga bisa menjadi pemicu. “Beberapa penderita HD mengalami ‘memory hoarding’, di mana mereka mengasosiasikan barang dengan kenangan atau orang yang dicintai. Mereka merasa membuang barang berarti kehilangan hubungan emosional tersebut,” tambahnya.
“Anak-anak dan remaja perlu diajarkan memilah barang yang masih bermanfaat dan yang perlu dibuang. Jika sudah menunjukkan tanda-tanda HD, terapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat membantu mengubah pola pikir penderita agar lebih adaptif. Dalam kasus yang lebih parah, obat golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) seperti Fluoxetine bisa diberikan untuk mengurangi kecemasan,” pungkasnya. (*)