Cerpen KeKeR: Rintik yang Membawa Pulang

  • Bagikan
freepik

KEKER.FAJAR.CO.ID – Rintik hujan jatuh perlahan, menari di atas genting dan menyusup ke sela-sela jalanan beraspal yang mulai retak. Kota kecil ini, kota tempat Aksa dilahirkan, masih sama seperti dahulu. Sepi, tapi penuh kenangan yang tak pernah benar-benar pudar.

Aksa berdiri di bawah halte tua yang catnya mulai mengelupas, memperhatikan langit kelabu yang menumpahkan gerimis sejak tadi pagi. Ia baru saja tiba setelah bertahun-tahun meninggalkan kota ini.

Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, tapi entah kenapa, setiap detail tempat ini masih tertanam kuat dalam ingatannya aroma tanah basah yang khas, deretan toko dengan papan nama yang sudah mulai usang, dan jalanan kecil yang dahulu sering ia susuri bersama sahabat-sahabatnya.

Dahulu, Aksa merasa kota ini terlalu sempit untuk impiannya. Ia ingin pergi, menjelajahi dunia, mencari sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehidupan sederhana di kota kecil. Tapi kini, setelah bertahun-tahun merantau, yang ia rasakan justru kehampaan. Ada bagian dari dirinya yang tertinggal di sini, di antara gerimis dan kenangan masa lalu.

Langkahnya membawanya ke sebuah warung kopi kecil di sudut jalan. Warung ini dahulu adalah tempat favoritnya dan teman-temannya. Ia mendorong pintu kayu yang sudah mulai rapuh, dan suara gemerincing lonceng kecil di atasnya menyambut kedatangannya.

Seorang pria tua berdiri di balik meja, mengaduk kopi hitam di gelas kaca. Ia menoleh, lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum lebar.

“Aksa?”

Suara itu membuat dada Aksa menghangat. Ia tersenyum, meski matanya sedikit basah. “Pak Rahman,” ucapnya pelan.

Pak Rahman masih seperti dahulu, hanya saja kini rambutnya lebih banyak yang memutih. Warungnya pun masih sama, meski beberapa kursi tampak sudah diganti. Aroma kopi yang pekat bercampur dengan bau kayu basah memenuhi ruangan.

“Kau akhirnya pulang juga,” kata Pak Rahman, meletakkan gelas kopi di hadapan Aksa.
Aksa mengangguk. “Aku rindu kota ini, Pak.”

Pak Rahman tersenyum tipis. “Kadang, kita memang harus pergi jauh dulu untuk menyadari di mana rumah kita sebenarnya.”

Aksa menatap keluar jendela, melihat butiran hujan yang terus turun, membasahi trotoar dan pepohonan di pinggir jalan. Ia ingat betul, sepuluh tahun lalu, ia meninggalkan kota ini juga dalam keadaan hujan. Saat itu, ia berjanji tak akan kembali sebelum berhasil meraih impiannya. Tapi kini, ia justru kembali dengan hati yang penuh tanya.

“Apa kabar teman-temanku, Pak?” tanyanya.
Pak Rahman menghela napas. “Beberapa masih di sini, beberapa pergi, dan… ada juga yang sudah tidak ada.”

Dada Aksa terasa sesak. Ia tidak berani bertanya lebih lanjut, takut mengetahui kenyataan yang mungkin menyakitkan. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara langkah cepat dari luar membuatnya menoleh.

Seorang perempuan berdiri di ambang pintu, terengah-engah. Rambutnya basah terkena gerimis, dan mata cokelatnya yang dahulu begitu akrab kini menatapnya dengan campuran keterkejutan dan kebahagiaan.

“Aksa?”

Naira.

Aksa menelan ludah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Perempuan di hadapannya ini adalah salah satu alasan mengapa ia selalu mengingat kota ini.

“Kau pulang,” kata Naira, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
Aksa mengangguk. “Aku pulang.”

Ada keheningan di antara mereka. Hanya suara rintik hujan yang terdengar, mengisi ruang yang penuh dengan kenangan tak terucapkan.

“Kau lama sekali pergi,” suara Naira terdengar lirih.

Aksa menghela napas. “Aku pikir aku bisa melupakan semuanya jika aku cukup jauh. Tapi ternyata, semakin jauh aku pergi, semakin aku sadar kalau aku meninggalkan sesuatu yang berharga di sini.”

Naira tersenyum kecil, tapi matanya masih menyimpan banyak pertanyaan. “Kau tahu? Aku sering bertanya-tanya, kapan kau akan kembali.”

Aksa menatapnya, lalu tertawa kecil. “Aku juga bertanya-tanya, apakah aku masih punya tempat di sini?”

Naira duduk di kursi di hadapannya, lalu berkata, “Kota ini mungkin tak banyak berubah, tapi kami yang tinggal di dalamnya selalu punya ruang untuk orang-orang yang kembali.”

Aksa tersenyum. Entah kenapa, hatinya terasa lebih ringan. Hujan di luar semakin deras, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar hangat.

Ia menyesap kopinya, merasakan rasa pahit yang sama seperti dahulu. Di kota kecil ini, di bawah hujan yang terus turun, ia akhirnya menemukan jawabannya. Rumah bukan sekadar tempat, tapi juga tentang orang-orang yang selalu menerimamu kembali.

Dan hari itu, di warung kopi kecil di sudut kota, di tengah gerimis yang tak kunjung reda, Aksa tahu bahwa ia telah benar-benar pulang. (*)

Sutryana

SMA Babussalam Boddie

IG @anasutry

  • Bagikan