KEKER.FAJAR.CO.ID – Hujan turun rintik-rintik sore itu. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang menyusup melalui jendela rumah kecil di sudut desa.
Di dalam rumah itu, seorang ibu duduk termenung di dekat jendela. Tatapannya kosong menatap langit kelabu. Matanya yang sembab menunjukkan bahwa air mata baru saja mengalir di pipinya.
Namanya, Bunda Lestari. Seorang ibu yang selalu menyayangi anaknya, Dirly, dengan sepenuh hati. Dirly adalah anak tunggalnya, harapan satu-satunya setelah sang suami meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Sejak kecil, Dirly adalah anak yang ceria, cerdas, dan penuh semangat. Namun, kehidupan tak selalu berjalan sesuai harapan.
Dirly tumbuh menjadi pemuda yang keras kepala. Ia ingin mandiri, ingin membuktikan bahwa dirinya bisa sukses tanpa bantuan siapa pun, termasuk ibunya.
Keputusan itu membuatnya pergi meninggalkan desa dan merantau ke kota tanpa berpamitan.
Bunda Lestari masih ingat hari itu dengan jelas. Hari di mana Dirly pergi dengan membawa tas ranselnya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah rumah.
Sejak saat itu, hari-hari Bunda Lestari terasa hampa. Setiap malam ia berdoa, berharap anaknya baik-baik saja. Namun, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berubah menjadi tahun. Dirly tak pernah pulang, bahkan sekadar mengirim kabar pun tidak.
Setiap kali ada suara motor berhenti di depan rumah, Bunda Lestari bergegas ke pintu, berharap itu adalah Dirly. Tapi harapannya selalu berakhir dengan kekecewaan. Setiap malam, ia tidur dengan air mata, bertanya-tanya apakah anaknya masih hidup, apakah ia makan dengan cukup, apakah ia sehat.
Sore itu, ketika hujan turun dengan lembut, sebuah kabar datang. Seorang pemuda datang mengetuk pintu rumahnya. Dengan sopan, seseorang menyerahkan sebuah amplop.
“Bunda Lestari?,” tanyanya.
“Iya, Nak. Kamu siapa?”
Suara Bunda Lestari bergetar.
“Saya teman Dirly, Bu.”
Mendengar nama anaknya disebut, tubuh Bunda Lestari gemetar. Tangannya bergetar saat menerima amplop itu. Dengan cepat ia membukanya dan membaca isi surat di dalamnya.
“Bunda, maafkan aku. Aku telah banyak berbuat salah. Aku terlalu sombong dan keras kepala. Aku pikir aku bisa hidup sendiri, tapi kenyataannya tidak. Aku sakit, Bunda. Aku lelah. Aku ingin pulang, tapi aku takut. Aku malu. Jika Bunda masih mau menerimaku, aku akan pulang. Jika tidak, aku mengerti. Aku hanya ingin Bunda tahu bahwa aku sangat mencintai Bunda. Aku rindu rumah.”
Air mata Bunda Lestari jatuh membasahi surat itu. Ia menatap pemuda di depannya dengan wajah penuh harap.
“Di mana Dirly sekarang, Nak?”
Pemuda itu menunduk. “Dia di Rumah Sakit Flora dekat perbatasan kota, Bu. Dia sakit cukup parah, tapi dia sangat ingin pulang.”
Tanpa berpikir dua kali, Bunda Lestari segera mengemasi barang-barangnya. Dengan langkah terburu-buru, ia naik ke motor pemuda itu menuju kota. Perjalanan terasa sangat panjang. Setiap detik yang berlalu semakin menyiksa hatinya.
Sesampainya di rumah sakit, Bunda Lestari berlari menuju kamar yang disebutkan pemuda tadi. Di sana, ia menemukan Dirly, terbaring lemah dengan selang infus di tangannya.
Wajahnya pucat, matanya cekung, tapi ketika melihat ibunya, air mata langsung mengalir di pipinya.
“Bunda…”
Suaranya serak, hampir tak terdengar.
Bunda Lestari mendekat, menggenggam tangan anaknya erat.
“Ibu di sini, Nak. Ibu selalu di sini.”
Dirly menangis, tangannya gemetar saat menggenggam tangan ibunya. “Maafkan aku, Bunda… Aku telah menyakiti hati Bunda…”.
Bunda Lestari menggeleng, air mata tak henti mengalir dari matanya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Kamu tetap anak Ibu, selalu.”
Saat itu, Dirly merasa beban di dadanya terangkat. Hangatnya genggaman tangan ibunya membuatnya merasa damai. Ia tahu, meskipun ia telah pergi jauh, kasih sayang ibunya tak pernah pudar.
Dan di sanalah mereka, di bawah cahaya redup rumah sakit, dua hati yang pernah terpisah kini kembali bersatu dalam tangisan. Tangisan seorang ibu untuk anak yang tak pernah berhenti ia cintai. (*)
Wiwin Ekayasa
MAS Ma’had DDI Pangkajene