KEKER.FAJAR.CO.ID – “Kerja keras sekarang, nikmati nanti.” Kalimat ini terdengar begitu inspiratif dan penuh semangat. Tapi di balik semangat itu, ada satu budaya yang diam-diam merasuk ke kehidupan generasi muda: hustle culture gaya hidup yang memuja kesibukan dan menganggap istirahat sebagai kemewahan yang tidak penting.
Di era media sosial, keberhasilan seolah punya standar baru: bangun jam 5 pagi, kerja 12 jam sehari, punya side hustle, dan tetap terlihat bahagia. Padahal, tidak semua orang cocok dengan ritme seperti itu. Tapi karena takut dianggap malas atau tidak ambisius, banyak yang memaksakan diri.
Tidak ada yang salah dengan kerja keras. Ambisi itu perlu. Tapi ketika kita mulai mengukur harga diri dari seberapa sibuknya jadwal harian, atau merasa bersalah saat istirahat, mungkin kita sedang terjebak dalam hustle culture yang melelahkan.
Efeknya? Kelelahan mental, burnout, kehilangan minat pada hal-hal yang dulu kita cintai, bahkan merasa hidup hanya berputar di antara to-do list. Ironisnya, semakin sibuk kita, semakin sulit kita merasa puas.
Lalu, apa salahnya melambat? Apa salahnya punya hari “tidak produktif”? Istirahat bukan berarti menyerah. Itu adalah bentuk keberanian untuk menjaga diri agar tetap utuh. Kita bukan mesin. Kita butuh tidur yang cukup, waktu untuk keluarga, ruang untuk berpikir, dan sesekali, waktu untuk tidak melakukan apa-apa.
Beberapa langkah untuk keluar dari jebakan hustle culture:
Redefinisi Produktivitas: Produktif bukan berarti sibuk terus. Kadang, justru saat diam, ide terbaik muncul.
Berani Bilang “Cukup”: Tidak semua peluang harus diambil. Menolak bukan berarti malas.
Rayakan Istirahat: Jadikan waktu luang sebagai bagian penting dari jadwal, bukan sisa-sisa waktu.
Lihat Hidup Lebih Luas: Karier itu penting, tapi bukan satu-satunya hal yang menentukan nilai hidup.
Pada akhirnya, hustle culture bukan satu-satunya jalan menuju sukses. Kita bisa punya mimpi besar tanpa kehilangan diri sendiri dalam prosesnya. Hidup bukan lomba. Tidak ada medali untuk siapa yang paling sibuk.
Jadi, apakah kita masih mau terus membuktikan diri lewat kelelahan? Atau sudah saatnya memilih untuk hidup lebih sadar, lebih utuh, dan lebih manusiawi?
Fitrah