Cari Tahu Tipe Kamu Anxious atau Avoidant

  • Bagikan
freepik

KEKER.FAJAR.CO.ID – Hai SoKeR! Dalam dinamika hubungan remaja, sering kali kita temui pasangan yang bertolak belakang secara emosional. Ada yang sangat membutuhkan perhatian, sementara yang lain justru merasa risih ketika terlalu didekati.

Dua tipe ini dikenal sebagai anxious dan avoidant, dan ternyata, pola hubungan semacam ini punya akar yang dalam masa kecil dan pola asuh dari orang tua.

Muh Agung Budi Kusuma dari SMPN 1 Turikale, mengungkapkan, orang dengan gaya anxious biasanya terbiasa dengan cinta yang tidak konsisten.

“Mereka cari validasi. Ketika mereka bisa menarik perhatian dari orang yang menjaga jarak (avoidant), itu jadi semacam pembuktian diri. Tapi hubungan seperti ini sering bikin capek secara emosional karena nggak stabil,” ujarnya.

Mirdayanti asal SMAN 13 Gowa, menjelaskan, pasangan anxious cenderung ingin terus dekat dan diperhatikan, sedangkan pasangan avoidant justru suka sendiri dan menjaga jarak.

“Makanya gampang salah paham. Tapi bisa diatasi kalau dua-duanya saling belajar mengerti. Anxious jangan maksa terus komunikasi, dan avoidant juga belajar lebih terbuka,” cuapnya.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar, Novita Maulidya Jalal, M.Psi., Psikolog, memberikan penjelasan mendalam mengenai gaya keterikatan (attachment) ini. Menurutnya, gaya avoidant berkembang karena pola pengasuhan yang cenderung menolak dan kurang memberikan kasih sayang.

“Anak-anak ini merasa harus mandiri sejak kecil karena orang tua mereka dianggap cuek. Akhirnya mereka tumbuh jadi pribadi yang menutup diri dan susah dekat dengan orang lain,” jelasnya.

Sementara itu, gaya anxious terbentuk dari pengalaman pengasuhan yang tidak konsisten. “Kadang anak merasa diterima, tapi kadang juga ditolak. Jadi anak tumbuh dengan kecemasan karena takut ditolak, tapi juga sangat ingin diterima,” tambah Novita.

Gaya keterikatan ini, lanjut Novita, terbentuk sejak masa bayi dan menjadi kerangka pikir (framework) dalam menjalin hubungan saat remaja dan dewasa.

“Jika sejak kecil sudah terbiasa dengan gaya avoidant atau anxious, besar kemungkinan itu terbawa ke hubungan asmara. Tapi ini bukan berarti tidak bisa berubah,” tegasnya.

Menurut Novita, meski pola keterikatan dibentuk sejak kecil, perubahan masih bisa terjadi melalui proses belajar sosial, pengalaman hidup, serta kematangan emosi.

“Peran guru, teman, nilai budaya, dan agama juga bisa membantu seseorang membentuk rasa aman dalam hubungan,” katanya.

Ia menekankan pentingnya mengenali pola pengasuhan masing-masing pasangan dalam menjalin hubungan asmara. “Harapan-harapan terhadap cinta sering kali berasal dari definisi cinta yang kita terima dari orang tua. Makanya penting saling mempelajari,” tutup Novita. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version