Opini: Remaja Diam, Masa Depan Tergelincir

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Tak ada yang menyangkal bahwa kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi mengalir tanpa henti, teknologi berkembang pesat, dan segala sesuatu bisa diakses dalam genggaman. Ironisnya, justru dalam dunia yang dinamis ini, tubuh kita semakin diam. Terutama tubuh para remaja—mereka yang mestinya menjadi generasi paling aktif—justru makin terjebak dalam pola hidup yang pasif: sedentary lifestyle.

Sedentary lifestyle, atau gaya hidup minim aktivitas fisik, bukan hanya tentang duduk terlalu lama. Ini adalah pola hidup yang ditandai dengan kurangnya gerakan, rendahnya aktivitas fisik harian, dan kebiasaan berlama-lama di depan layar—baik itu untuk belajar, bermain, maupun sekadar mengisi waktu kosong. Bagi sebagian besar remaja, ini telah menjadi norma baru yang tak lagi dipertanyakan.

Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2022, lebih dari 80% remaja di seluruh dunia tidak memenuhi rekomendasi aktivitas fisik harian, yakni minimal 60 menit aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi setiap hari. Di Indonesia, data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa sekitar 33,5% remaja usia 10–14 tahun dan 38,3% usia 15–19 tahun tergolong kurang aktivitas fisik. Ini bukan angka yang bisa diabaikan.

Dampaknya perlahan tapi nyata. Remaja yang terbiasa hidup pasif memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas, gangguan metabolisme, hingga penyakit kardiovaskular sejak usia muda. Tak hanya itu, gaya hidup sedentari juga berkontribusi pada masalah psikologis seperti kecemasan, stres, hingga penurunan kemampuan kognitif. Tubuh yang jarang bergerak akan kehilangan vitalitasnya, dan pikiran ikut lesu karenanya.

Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana pola ini dinormalisasi. Ketika duduk berjam-jam di depan layar dianggap sebagai bagian dari “rutinitas belajar” atau “hiburan yang wajar”, kita sering lupa bahwa tubuh remaja butuh ruang untuk bergerak, berkembang, dan bernapas. Dan ketika aktivitas fisik tak lagi menjadi kebiasaan, maka bukan hanya fisik yang akan menderita, tapi juga kepekaan diri dan relasi sosial mereka.

Tentu kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan remaja. Dunia yang mereka hidupi memang semakin sempit dalam ruang virtual. Tapi justru karena itu, lingkungan sekitar—keluarga, sekolah, komunitas—punya peran penting dalam mengubah arah. Bukan dengan memaksa, tetapi dengan memberi contoh, membangun rutinitas sehat, dan menciptakan ruang yang mendorong mereka untuk bergerak tanpa merasa dihukum.

Mendorong remaja agar lebih aktif bukan soal membatasi gadget atau menyuruh mereka berolahraga semata. Ini tentang membangun kesadaran bahwa tubuh yang aktif adalah tubuh yang hidup. Bahwa bergerak bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan yang harus dirayakan. Dan bahwa masa muda semestinya tidak dihabiskan dalam diam yang panjang.

Karena jika tubuh remaja terlalu lama duduk, masa depan mereka bisa ikut tertinggal. Dan itu bukan hanya kerugian pribadi, tapi juga kerugian bagi kita semua.

Penulis: Raihanah Ramadhani Suttari

  • Bagikan