KEKER.FAJAR.CO.ID – Dari sejak bangun tidur hingga malam hari, kita sering dihantui satu pertanyaan: Hari ini sudah produktif belum? Seolah-olah nilai diri kita diukur dari seberapa banyak yang bisa dicapai, diselesaikan, atau dicentang dari to-do list. Tapi, apakah hidup memang hanya tentang menjadi produktif?
Budaya produktivitas tinggi telah menjelma jadi standar baru. Media sosial dipenuhi konten tentang rutinitas pagi ala CEO, tips kerja 16 jam sehari, dan kutipan-kutipan motivasi yang terdengar menginspirasi namun diam-diam menekan. Istirahat pun terasa seperti kemewahan, bahkan kesalahan.
Fenomena ini disebut toxic productivity dorongan terus-menerus untuk melakukan, bahkan saat tubuh dan pikiran sudah lelah. Hasilnya? Kita merasa bersalah saat beristirahat, stres karena belum cukup “berhasil”, dan akhirnya terjebak dalam lingkaran kelelahan yang dibungkus ambisi.
Padahal, istirahat bukan lawan dari produktivitas. Ia adalah bagian dari siklusnya. Tanpa jeda, kita bukan hanya kehilangan energi, tapi juga kreativitas, empati, bahkan kesehatan.
Maka, penting bagi kita untuk berani bertanya: produktif untuk siapa? Mengejar apa? Apakah kebahagiaan kita hanya ditentukan oleh output dan pencapaian?
Beberapa langkah untuk mulai menyembuhkan diri dari tekanan menjadi selalu produktif:
Redefinisi Arti Produktif: Produktif bukan hanya soal kerja, tapi juga soal istirahat, merawat diri, dan membangun relasi yang bermakna.
Jadwalkan Waktu Kosong: Sama pentingnya dengan jadwal meeting. Karena pikiran butuh ruang untuk bernafas.
Rayakan Hal Kecil: Tak semua pencapaian harus besar. Bangun tepat waktu dan menyeduh kopi pun layak dirayakan.
Berani Tidak Sibuk: Sibuk tidak selalu berarti penting. Tenang bukan berarti malas.
Akhirnya, menjadi manusia bukan soal seberapa banyak yang bisa kita hasilkan, tapi seberapa dalam kita bisa merasakan hidup ini. Kita tidak dilahirkan untuk jadi mesin. Kita butuh tidur, tawa, dan waktu kosong yang membebaskan.
Jadi, apakah istirahat adalah kelemahan? Tidak. Ia adalah bentuk perlawanan paling lembut di tengah dunia yang terus menuntut: bahwa kita berharga bukan karena hasil, tapi karena kita ada.
Fitrah