Cerpen KeKeR: Kebaikan yang Diam-Diam Kembali

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Namaku Aulia. Aku pelajar, tinggal di kota makassar yang tenang. Tidak ada yang istimewa dariku, aku bukan juara kelas, bukan juga anggota OSIS atau murid populer. Aku hanya suka menulis diam-diam di buku catatan, suka membantu orang kalau bisa, dan suka memperhatikan hal-hal kecil yang orang lain sering lupakan.

Salah satu kebiasaanku sejak SMP adalah: kalau bisa bantu, bantu saja tanpa harus dikenali.

Aku sering menyisihkan uang jajanku sedikit untuk beli roti dan menaruhnya diam-diam di loker teman sekelasku yang jarang bawa bekal. Pernah juga membetulkan payung tua milik ibu kantin, lalu menyelipkannya di tempat biasa beliau duduk.

Aku tidak tahu kenapa aku suka melakukan itu. Mungkin karena aku tahu rasanya saat hidup tidak baik-baik saja, dan betapa berharganya hal kecil yang tiba-tiba muncul seperti “keajaiban tanpa nama”.


Suatu hari di semester dua, aku lupa bawa dompet. Aku sadar saat mau beli air minum di kantin. Badanku lemas habis olahraga, dan hausnya bukan main. Aku berdiri canggung di depan kulkas kaca, lalu memutar badan hendak kembali ke kelas saja.

Tiba-tiba seseorang menyentuh bahuku. “Minum aja dulu, Nih,” katanya sambil menyodorkan sebotol air dingin.

Aku menoleh. Itu Dira, siswa yang jarang bicara, duduk di barisan belakang. Wajahnya datar, tapi matanya jernih.

“Serius?” tanyaku.

Dia mengangguk. “Iya. Gak apa-apa. Mungkin hari ini giliranku bantu kamu.”

Aku menerimanya sambil mengucap terima kasih berkali-kali. Air itu rasanya menyegarkan, tapi yang lebih menghangatkan justru cara dia bilang: “Mungkin hari ini giliranku bantu kamu.”

Aku tidak tahu maksudnya, tapi aku ingat kalimat itu terus sampai malam.


Beberapa minggu berlalu, aku melihat Dira duduk sendiri di tangga belakang sekolah. Hujan turun deras. Anak-anak lain sudah pulang. Aku sendiri tertahan karena tidak ada yang menjemput. Aku lihat dia mendekap tasnya kuat-kuat.

Aku hampir pergi, tapi lalu teringat air minum hari itu.

Aku mendekat dan duduk di tangga bawahnya.

“Lagi nunggu dijemput juga?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Enggak ada yang jemput.”

Kami terdiam. Aku menunggu ia bercerita, tapi ia hanya menunduk.

Akhirnya aku keluarkan payung lipat dari tasku, lalu memberikannya padanya.

“Ambil aja. Nanti aku nebeng temanku.”

Dia menolak. Tapi aku tetap menyodorkan payung itu. “Mungkin hari ini … giliran aku.”

Dia menatapku lama. Lalu mengangguk pelan.


Minggu demi minggu berlalu. Aku dan dira tidak jadi teman dekat, tapi entah kenapa kami jadi saling memperhatikan. Saat aku diam di kelas karena cemas soal tugas matematika, dia mendadak menaruh contekan rumus kecil di mejaku. Saat dia tampak murung, aku menyelipkan permen di saku jaketnya saat dia pergi ke toilet.

Tak ada yang tahu. Kami tidak perlu menyebutkan siapa melakukan apa. Tapi ada satu rasa hangat yang tumbuh dari pertukaran kebaikan diam-diam itu.


Suatu sore, ibu meneleponku dengan suara panik. Adikku, yang baru kelas dua SD, jatuh saat main sepeda dan harus dirawat di puskesmas. Ibu menyuruhku pulang cepat. Aku bingung motor satu-satunya dibawa ayah, dan angkot ke arah rumahku sudah langka sore hari.

Aku berlari ke luar gerbang sekolah. Tidak ada yang bisa kutumpangi. Aku duduk di halte depan sekolah, dengan napas terengah.

Lalu sebuah motor berhenti di depanku. Dira.

“Naik,” katanya singkat.

Aku tidak tanya kenapa dia ada di sana. Aku hanya naik dan memeluk tas di depanku erat-erat.

Sepanjang jalan, aku diam. Tapi air mataku keluar sendiri. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena khawatir pada adik. Mungkin karena lelah. Tapi mungkin juga karena aku merasa tidak sendiri.

Sebelum turun, aku menatap Dira dan berkata, “Terima kasih banget. Aku … gak tahu bisa balas apa.”

Dia cuma tersenyum. “Aulia … kamu udah balas banyak hal. Lebih dari yang kamu kira.”

Aku menatapnya bingung.

“Waktu itu, kamu pernah naro bekal di loker aku tiga kali. Aku gak pernah bilang. Tapi waktu itu, aku sering ke sekolah tanpa sarapan.”

Jantungku seperti berhenti sebentar.

“Kamu juga pernah betulin payung ibu kantin. Itu ibuku.”

Aku tercekat.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku pikir semua kebaikan kecilku menghilang seperti angin. Tapi ternyata ia pulang kembali sebagai pelukan.


Hari ini aku menulis di jurnal harian:

Ternyata, kebaikan kecil itu tidak pernah hilang. Ia hanya diam, tumbuh perlahan, dan suatu hari, ia kembali di waktu paling dibutuhkan.

Aku tetap bukan siapa-siapa. Bukan seleb. Bukan anak organisasi. Tapi hari ini, aku tahu satu hal pasti:

Tak perlu jadi besar untuk memberi dampak. Cukup jadi baik, secara diam-diam, setiap hari.

Nama lengkap : Aulia Ansar
Sekolah : SMP negeri 09 Makassar
Ig : auulliyaa___

  • Bagikan

Exit mobile version