KEKER.FAJAR.CO.ID – Malam itu, hujan turun tanpa jeda. Angin menusuk masuk lewat celah-celah jendela rumah kos tua yang ditempati Ayu, seorang mahasiswi tingkat akhir. Ia tinggal sendirian di kamar nomor tujuh—kamar yang katanya sudah lama kosong sebelum ia datang.
Ayu adalah tipe penyendiri. Ia lebih senang menulis dan membaca ketimbang bergaul. Tapi akhir-akhir ini, pikirannya sering kosong. Ia bangun pagi dengan kepala berat, lupa apa yang ia lakukan semalam. Semakin hari, ia merasa… hampa. Seolah ada sesuatu yang disedot dari dalam dirinya.
Puncaknya terjadi malam itu.
Listrik padam. Ayu menyalakan lilin. Saat cahaya berpendar lembut di dinding, ia menyadari sesuatu.
Lorong kos itu tidak seperti biasanya.
Lorong yang biasanya sempit kini tampak lebih panjang. Jauh lebih panjang. Dan yang membuat bulu kuduknya berdiri—ada bayangan hitam berdiri di ujungnya. Diam. Tidak bergerak. Tidak berkedip.
Ayu menelan ludah. Lilin di tangannya mulai bergetar. Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia melangkah perlahan ke lorong itu. Semakin dekat, bayangan itu tetap diam, tapi bentuknya makin jelas—tinggi, kurus, dan wajahnya kosong. Bukan tanpa ekspresi. Tapi benar-benar kosong. Tak ada mata. Tak ada hidung. Tak ada mulut. Hanya kulit pucat yang membentang rata di wajahnya.
Dan dari tubuh makhluk itu… muncul suara. Bukan dari mulut. Tapi langsung di kepala Ayu.
“Akhirnya kamu lihat aku.”
Ayu mematung.
“Aku lah yang kamu bawa pulang malam itu, saat kamu merasa paling hampa. Aku masuk saat kamu memintanya diam-diam… Saat kamu berkata: ‘Aku ingin menghilang.'”
Ayu gemetar.
“Dan sekarang, kamu akan. Perlahan-lahan. Seperti yang lainnya.”
Seketika semua gelap. Ketika ia membuka mata, ia masih di kamar. Tapi ada yang salah. Tak ada suara hujan. Tak ada detik jam. Bahkan detak jantungnya sendiri… hilang.
Ia berdiri di depan cermin, tapi tidak melihat pantulan dirinya. Hanya kehampaan. Kamar itu tidak lagi terasa kamar. Ia seperti berada di antara dua dinding tak berujung. Hampa. Hampa total.
Ia mencoba berteriak, tapi suaranya tidak keluar. Matanya menangis, tapi air mata tak jatuh.
Ia mengetuk-ngetuk dinding, berharap ada yang mendengar.
Namun di dunia nyata, Ayu masih terlihat berjalan. Ke kampus. Ke warung. Ke masjid. Tapi ia tidak lagi menyapa. Tidak lagi tertawa. Matanya kosong. Tak ada emosi.
Ia hanya… ada. Tapi tidak hidup.
Dan di kamar nomor tujuh, cermin di atas meja bergetar sendiri, menampilkan wajah Ayu yang menjerit di dalamnya. Suara itu terus bergema dari dalam cermin”Aku masih di sini! Tolong! Aku masih hidup!”
Tapi tak ada yang bisa mendengar.
Karena sekali lorong itu membawamu, tak ada jalan pulang.
M. Adnan Dawlah
MA Hikmah Ranteangin Kolaka Utara
IG @adnandawlah11