KEKER.FAJAR.CO.ID – Hujan rintik turun pelan di sore yang muram. Suaranya menari di atas genteng rumah kecil di ujung gang sempit. Di dalam rumah itu, seorang gadis kecil bernama Nara, duduk di sudut ruangan, memeluk lutut, memandang keluar jendela yang buram. Hatinya terasa dingin seperti cuaca di luar.
Hari itu, ia pulang sekolah dengan langkah lesu. Tasnya terasa berat, bukan karena buku, tapi karena perasaan rendah diri. Di sekolah, teman-temannya membahas ponsel baru, sepatu mahal, dan liburan ke luar kota. Nara hanya diam, mengangguk dan tersenyum seadanya. Ia tahu, ia tak punya semua itu.
Ketika ibunya pulang dari pasar, membawa tas belanjaan berisi sayur dan ikan asin, Nara menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ibu,” katanya pelan. “kenapa hidup kita begini? Kenapa kita nggak seperti orang lain?”
Ibunya meletakkan belanjaan, lalu duduk di sebelah Nara. Ia menyeka keringat di dahinya, lalu mengelus rambut putrinya.
“Sayang,” ujarnya lembut. “hidup memang nggak adil. Tapi Ibu percaya, kita bisa bahagia kalau kita mau melihat dari sisi yang lain.”
Nara menunduk. “Aku capek diejek, Bu. Katanya aku miskin.”
“Biarkan saja,” jawab ibunya tenang. “Yang penting kamu jujur, rajin, dan nggak pernah berhenti berusaha. Kekayaan sejati bukan di dompet, tapi di hati dan pikiran.”
Nara tak menjawab. Tapi sejak hari itu, ia mulai memandang hidup dengan cara berbeda.
Tahun demi tahun berlalu. Nara tumbuh jadi remaja yang kuat dan cerdas. Ia belajar dengan tekun, membantu ibunya berdagang sayur setiap pagi sebelum sekolah. Ia tak pernah mengeluh, walau lelah selalu menempel di pundaknya.
Suatu hari, saat pengumuman kelulusan SMA, Nara dipanggil ke atas panggung sebagai lulusan terbaik. Semua mata menatapnya, beberapa dengan kagum, beberapa dengan rasa bersalah.
Dengan suara bergetar, Nara berpidato. “Saya persembahkan ini untuk Ibu saya, yang tak pernah menyerah, meski hidup selalu mengetuk dengan keras. Yang mengajarkan bahwa langkah kecil, asal terus diayunkan, bisa membawa kita ke tempat yang besar.”
Ibunya menangis dari bangku penonton. Tangannya gemetar memeluk tas belanjaan dari kain lusuh yang selalu ia bawa. Tapi di matanya, tak ada lagi kesedihan. Yang ada hanya haru dan bangga.
Beberapa tahun kemudian, Nara lulus dari universitas negeri ternama. Ia menjadi guru di sekolah yang dahulu mempermalukannya. Tapi ia tak membawa dendam. Ia hanya ingin menjadi cahaya bagi anak-anak yang tumbuh dalam keterbatasan seperti dirinya dahulu.
Hidup tak pernah mudah. Tapi Nara tahu, setiap langkah kecil yang ia tempuh bersama ibunya, telah membawanya ke sini. Bukan karena keberuntungan. Tapi karena keyakinan dan cinta yang tak pernah putus. (*)
Penulis:
Sutryana
SMA Babussalam Boddie
IG @anasutry