Saat Simbol Fiksi Dianggap Sebagai Ancaman: Sejauh Mana Ruang Demokrasi Terbuka

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece oleh masyarakat di berbagai daerah menjelang hari ulang tahun ke-80 Republik Indonesia menimbulkan perdebatan.

Beberapa pemerintah daerah menganggap tindakan ini tidak tepat dan bisa merusak semangat kebangsaan. Namun, banyak warga melihat aksi ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam sistem demokrasi. Bendera Jolly Roger simbol bajak laut dari serial One Piece mulai dipasang di beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Makassar.

Aktivitas ini dianggap sebagai bentuk kritik masyarakat terhadap masalah keadilan sosial dan ketidaksetaraan dalam penerapan hukum. Siapa yang terlibat? Masyarakat umum, terutama dari kalangan muda, menjadi inti dari aksi simbolik ini.

Sementara itu, pemerintah daerah dan aparat keamanan turut memberikan tanggapan, termasuk menerbitkan larangan penggunaan simbol selain bendera nasional selama perayaan kemerdekaan. Fenomena ini mulai terlihat sejak akhir Juli 2025 dan mencapai puncaknya di awal Agustus. Tempat pengibaran bendera ini mencakup area kampus, jalan raya, hingga lingkungan perumahan.

Simbol bajak laut dari media populer ini dianggap memperlihatkan kekecewaan masyarakat terhadap isu seperti korupsi, ketimpangan ekonomi, dan melemahnya nilai-nilai demokrasi. Bagi sebagian orang, simbol ini menunjukkan penolakan terhadap sistem yang dianggap tidak adil.

Beberapa gubernur menyatakan aksi tersebut bertentangan dengan semangat nasionalisme. Contohnya, Gubernur Bangka Belitung mengeluarkan surat edaran yang melarang penggunaan simbol non-negara selama bulan kemerdekaan. Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa kebebasan berpendapat boleh dilakukan selama tidak menggantikan lambang resmi negara, yaitu bendera Merah Putih.

Peristiwa ini memicu banyak diskusi di media maya dan ruang publik. Para pengamat hukum dan demokrasi menyatakan bahwa upaya membatasi ekspresi simbolik bisa menjadi awal dari pembatasan kebebasan berekspresi. Sementara kalangan akademisi mengatakan, sikap represif terhadap simbol fiksi menunjukkan ketidakterbukaan pemerintah terhadap kritik masyarakat. “Ini bukan sekadar ikut-ikutan budaya pop. Ini adalah bentuk protes damai. Jika simbol fiksi lebih didengar daripada aspirasi rakyat, itu tanda demokrasi kita sedang dalam bahaya,” kata endi Prakoso, Aktivis Mahasiswa UI.

“Kami menghormati ekspresi budaya, tetapi jangan sampai mengabaikan lambang negara. Bendera Merah Putih tetap yang utama,” kata Yudi Hartanto, Kepala Kesbangpol Provinsi Bangka Belitung.

Fenomena ini memicu refleksi kritis. Sejauh mana masyarakat bisa menyuarakan pendapat melalui simbol alternatif, dan sejauh mana negara wajib menjaga otoritas simboliknya? Ketika lambang fiksi menjadi sarana ekspresi sosial, cara negara merespons bisa menunjukkan sejauh mana kedewasaan demokrasi kita berkembang.

Muhammad Rezki Kadir

  • Bagikan