Cerpen KeKeR: Di Balik Ombak

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Langit jingga memeluk cakrawala, sementara ombak terus datang dan pergi seperti napas yang tak pernah berhenti. Dara duduk di ujung dermaga, membiarkan kakinya terayun menyentuh permukaan air.

Sejak kecil, laut adalah sahabat terdekatnya. Tapi sejak kehilangan Ayah dua tahun lalu, lautan menjadi tempat yang penuh misteri dan luka.

“Ayah bilang, lautan itu punya suara,” gumamnya pelan. “Tapi sekarang suaranya terasa sunyi.”

Angin berembus lembut, membawa aroma asin yang khas. Di kejauhan, camar-camar beterbangan, seperti mengawasi dunia dari ketinggian. Dara menatap perahu tua milik ayahnya yang masih tertambat di pinggir dermaga, tak pernah lagi digunakan sejak hari badai itu.

“Laut itu tidak kejam,” suara itu datang dari belakang.

Dara menoleh. Itu Banyu, sahabat masa kecilnya, yang kini menjadi nelayan muda paling tangguh di desanya. Ia berdiri dengan kaus lusuh dan celana digulung, memegang jaring yang baru saja selesai dijemur.

“Kalau bukan kejam, kenapa ia mengambil Ayah?,” tanya Dara, lirih.

Banyu duduk di sampingnya. “Karena laut itu jujur. Ia hanya memberi pada mereka yang siap menerima. Ayahmu tahu itu.”

Dara menunduk. Sejak kepergian Ayah, ia merasa terputus dari semua yang dikenalnya. Tapi malam itu, ketika membersihkan gudang tua di rumah, ia menemukan sesuatu sebuah peta lusuh dengan catatan tangan ayahnya.

Ada tanda silang di sebuah titik di lautan. Di sampingnya tertulis: “Pulau yang tidak terlihat oleh mata biasa.”

“Aku ingin mencarinya, Nyu,” kata Dara suatu pagi. “Apa pun yang Ayah cari di sana, aku ingin tahu.”

“Sendiri?,” Banyu mengernyit.
“Denganmu.”

Mereka mempersiapkan perahu tua dengan hati-hati. Butuh waktu dua minggu untuk memperbaiki layar, tambalan kayu, dan mengganti tali-tali usang. Beberapa orang menertawakan mereka. Beberapa melarang. Tapi Dara tetap teguh. Ini bukan sekadar pencarian, ini adalah jalan pulang.

Perjalanan dimulai saat fajar. Laut menyambut mereka dengan lembut. Selama tiga hari, mereka melewati gelombang tenang dan langit bersih. Banyu mengajari Dara membaca arah angin dan melihat bintang sebagai petunjuk arah.

Hari keempat, badai datang. Petir menyambar, angin menggila. Perahu kecil mereka terombang-ambing seperti mainan. Tapi Dara tidak takut, tidak lagi. Ia berdiri di ujung perahu, mengingat kata-kata ayahnya, “Taklukkan rasa takutmu, maka laut akan menuntunmu.”

Dan benar saja. Setelah badai reda, kabut tebal perlahan tersingkap. Di depan mereka, sebuah pulau kecil muncul, seperti terangkat dari dasar mimpi.

Pulau itu sunyi. Hanya ada hamparan pasir putih, batu-batu hitam mengkilap, dan satu pohon besar menjulang sendirian di tengah. Saat mendekat, Dara menemukan sebuah kotak kayu terkubur di bawah akar pohon.

Di dalamnya, ada buku catatan milik Ayah. Halaman-halamannya sudah menguning dan bau garam melekat kuat. Di halaman terakhir tertulis, “Jika kau menemukan tempat ini, maka kau telah memahami bahwa pencarian terbesar dalam hidup bukanlah harta atau pulau, melainkan keberanian untuk kembali menyatu dengan dirimu sendiri.”

Dara terdiam lama. Air mata menetes. Untuk pertama kalinya, ia merasa damai.

Banyu menggenggam tangannya. Tak perlu banyak kata. Mereka sama-sama tahu, mereka telah menemukan lebih dari sekadar pulau.

Sepulang dari perjalanan itu, Dara tak lagi sama. Ia tidak lagi menjauhi laut. Justru sebaliknya, ia mengajar anak-anak membaca arah angin, mengenal jenis ombak, dan memahami bahwa laut bukan tempat kehilangan, tapi tempat mengenali diri.

Perahu tua milik Ayah kini kembali berlayar. Tidak untuk mencari pulau harta, tapi untuk membawa harapan, keberanian, dan cerita.

Di setiap ombak yang datang, Dara kini mendengar suara. Suara Ayah, suara lautan, dan suara hatinya sendiri yang dahulu tenggelam oleh duka, kini muncul kembali ke permukaan.

Laut, pada akhirnya, bukan tempat akhir. Tapi tempat segala hal bermula. (*)

Sutryana

SMA Babussalam Boddie
IG @anasutry

  • Bagikan