[Cerpen] Chopin, Etude

  • Bagikan
Dok.Pribadi/Shofiyyah Lukman

KEKER.FAJAR.CO.ID – Gadis itu berjalan tertatih-tatih. Tangan kirinya memegang tongkat, sementara tangannya yang lain terulur meraba sana-sini. Setelah lama berkeliling rumah tanpa arah, dia berbelok ke salah satu ruangan.

Senyumnya mengembang begitu menyentuh alat musik yang berdirikokoh. Ia menarik kursi piano dan duduk di atasnya. Jarinya menekan satu tuts, kemudian memainkan satu lagu yang terlintas di pikirannya. Senyumnya yang lebar pudar dalam sekejap.

“Sena, dokter menyuruhmu istirahat!”

Lelaki itu masuk dengan tergesa-gesa. Ia baru saja menyimpan barang-barang Sena di dalam kamar. Sena menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya dibanjiri oleh keringat, bibirnya pucat.

Tatapan matanya kosong, menatap lurus saudara kembarnya.

“Azra, apa aku juga mengalami gangguan telinga?”

Azra menghampiri gadis itu dan memaksanya berdiri.

“Masuk ke kamarmu sekarang juga,” perintahnya geram.

Sena menutup telinganya dengan tangan gemetaran.

“Bagaimana ini, Ra? Kompetisi itu dua minggu lagi, Ra.”

“Berhenti saja dan jangan pernah menginjak ruangan ini lagi!”

Azra tahu ini akan terjadi, karena itu dia bersikeras menjauhkannya dari piano. Ia tidak mau melihat adik kembarnya frustasi. Dia menarik Sena keluar, tapi Sena tidak semudah itu diseret. Sekuat tenaga, dilepasnya cengkeraman Azra.

“Kenapa aku harus berhenti? Aku kehilangan penglihatan, tapi kedua tanganku masih utuh!” tukas Sena mendorong kembarannya menjauh.

Azra menghela nafas berat. Percuma saja bicara dengannya. Kalau menyangkut piano, kepala perempuan itu sekeras batu.


Sudah berjam-jam suara piano tidak berhenti mengalun. Nadanya tidak teratur, berantakan, diikuti dengan dentuman marah yang memekakkan telinga.

Di depan Azra, Sena terlihat baik-baik saja dengan kondisinya. Berlagak tabah, padahal dia ingin sekali mengusir kegelapan yang setia menemani. Seperti dugaan Azra, dia memang sefrustasi itu.

JRENG.

Lagi-lagi lantunan gusar. Kesabarannya mulai habis sementara permainannya tak kunjung membaik. Ia pikir setelah beberapa kali pengulangan, suara pianonya bisa kembali seperti dahulu. Menenangkan, indah, enak didengar.

“Mainnya pakai hati,” tegur Azra yang mengamati sejak beberapa menit yang lalu.

Niatnya untuk tidur siang batal karena mendengar suara-suara tidak mengenakkan. Sena mengangkat tanganya dari tuts. Jari-jarinya sudah kebas akibat bermain non-stop.

Ia meraih tongkatnya yang disandarkan pada tembok, lalu keluar dengan hati-hati. Dia bisa gila kalau tinggal lebih lama lagi. Azra menuntun saudara satu-satunya duduk di sofa.

“Sepertinya aku gak bisa seperti dahulu lagi,” bisiknya lirih.

“Bisa. Kamu belum cukup mencoba,” bantah Azra berjongkok membuka rak meja.

  • Bagikan