Setelah lama mencari, ia akhirnya mengeluarkan setumpuk kaset.
“Permainanku benar-benar kacau, Ra. Kamu dengar, kan?” timpal Sena putus asa.
Azra memasukkan salah satu kaset pada radio. “Kamu plin-plan juga, ya. Padahal tadi ada orang yang gigih sekali melawanku,” sindirnya dengan nada mengejek.
Ia menekan tombol play. Sena membuka mulutnya, bersiap-siap membela diri tapi terhenti. Gadis itu terdiam gagu mendengar dentingan piano dari radio.
“Itu aku, kan?”
Azra mengangguk, kemudian sadar kalau Sena tidak bisa melihatnya. “Dahulu kamu pernah bilang, piano lebih membutuhkan perasaan daripada penglihatan.”
Sena terpaku, menyerap perkatan lelaki itu.
Esok paginya, Sena duduk kembali di atas kursi piano. Ia menghela nafas panjang, mencoba berkonsentrasi. Berharap kejadian kemarin tidak terulang lagi.
Dengan jantung berdebar tak keruan gadis itu mulai memainkan lagu yang paling disukainya, Chopin-Etude op 25 no 11.
Begitu mulai bermain, keringatnya mulai bercucuran. Sudah tak terhitungberapa kali Sena meneguk ludah saking gugupnya. Tak ubahnya kemarin, permainan piano diakhiri dengan hentak keputusasaan.
“Apa sih sebenarnya yang kamu takuti?,” tandas Azra dingin.
Tidak seperti biasanya, ia bangun lebih cepat. Saudaranya itu butuh dukungan, hanya dia yang bisa melakukannya. Kedua orang tua mereka tugas dinas di luar kota yang entah kapan pulangnya.
“Apa orang seperti aku tidak pantas bermain piano?,” Sena balik bertanya dengan suara bergetar. Telinga dan hatinya sakit mendengar suara pianonya sendiri. Ia mulai bertanya-tanya, kemana gerangan tangannya yang begitu mahir?
Dahulu dengan sepuluh jari pun, dia mampu membuat riuh seisi aula.
“Jadi kenapa kalau kamu sedikit berbeda?,” Azra berkata berang.
“Berhenti mencemaskan yang tidak-tidak. Kekhawatiran berlebihan itu bisa menjatuhkanmu,” dia berbalik, melangkah menjauh.
Ditinggalkan sendirian dalam ruangan itu membuat pikirannya terbuka. Ia merenungi semua perkataan yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Semua yang dikatakan Azra benar.
Ia merasa minder dengan kekurangannya. Rasa takut akan reaksi penonton, dihujat dan direndahkan terus menghantuinya.
Beberapa menit berlalu, gadis itu masih diam di atas kursi piano. Rambut hitam panjangnya lepek terkena keringat. Akhirnya ia menepuk-nepuk wajahnya keras, mengembalikan semua konsentrasi yang terpecah.
“Sayang sekali kalau aku menyerah sekarang,” gumam Sena pelan. Bibirnya mengukir senyum tipis. (*)
Shofiyyah Lukman(MAN 2 Makassar)