“Tapi kak, ini sudah berkali-kali terjadi.”
“Kau menyerah?”
“Apa aku pernah bercerita kepadamu tentang kawanku yang gagal jadi penulis karena menyerah sebelum perang?”
Aku hanya menggeleng dan menatapnya dengan raut penuh tanda tanya.
“Baiklah aku akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu kau harus berjanji setelah kembali dari tempat ini kau akan semangat menulis lagi. Deal?”
Kujabat tangan kak Awan sebagai tanda kesepakatan kami.
Aku terdiam sejenak, menyelami cerita kak Awan. Dan aku merasa telah diberimotivasi untuk berusaha lagi. “Baiklah kak, aku ingin pulang dan menulis lagi dan tentunya ikut lomba lagi.”
Cahaya rembulan yang terpantul di jendelaku sangat indah. Aku berjalan keteras rumah dan membawa alat tulis.
Tiba-tiba ada sebuah bintang jatuh. Sontak aku memejamkan mata. Lalu tersadar untuk apa juga aku memejamkan mata? Memohon? Sayang sekali aku tak hidup di zaman nenek yang masih percaya akan hal itu.
Esoknya, ketika berjalan ke sekolah aku melihat selebaran poster LCN tertempel di tiang listrik. Timbullah niat untuk berpartisipasi dalam lomba tersebut. Dan tanpa kusadari pun akhirnya aku kembali menulis.
Sepekan kemudian aku dengan semangat pergi ke perpustakaan, menemui Kak Awan.
“Selamat pagi Kak Awan. Ayi datang ke sini dengan maksud meminta bayaran kepada Kak Awan. Sesuai janjiku aku akan kembali menulis, dan ikut lomba lagi. Maka dari itu, sebagai bayarannya Kak Awan harus menemaniku mengumpulkan naskah ini.”
“Ya sudah, ayo!,” Kak Awan tersenyum dengan kabar yang kuberi hari ini. Iamerangkulku dan berjalan keluar.
Tepat pukul delapan pagi, kami tiba di gedung pertemuan. Telah banyak peserta lomba yang datang untuk mengumpulkan karya-karya mereka. Aku sudah tak sabar untuk mendengar hasil lombanya pekan depan. (*)
Anggi(SMAN 2 Soppeng)IG @anggiayuanggreini