[Cerpen] Andaikan

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Hari itu hari Minggu. Seorang wanita bangkit dari ranjangnya. Ia mengeluh sakit pada punggungnya setelah lelah tidur seharian. Atau mungkin karena usianya yang akan memasuki kepala empat.

Tangannya yang putih bersih menyibak tirai jendela abu-abu gelap di kamarnya. Cahaya matahari dengan lancangnya masuk tanpa diundang. Menyilaukan mata. Ia memegang terali jendela yang sudah karatan. Maklum, terali itu sudah sangat lama dipasang. Umurnya jauh lebih tua dari novel romansa dua anak SMA yang ia lupa judulnya itu. Terlihat oleh mata sembabnya, seorang lelaki pengantar koran lewat. Buru-buru ia menutup kembali tirai itu.

Tidur selama lebih dari 10 jam jelas membuat perutnya bergemuruh. Dengan malas, ia menuju ke dapur. Dia hidup sendirian, untuk apa berharap ada orang yang akan memasak untuknya? Roti bakar buatannya ia hidangkan di meja, lengkap dengan teh hangat. Ia berusaha meraih kacamata di rak buku miliknya. Kacamata itu akan membantu mata sipitnya membaca koran pagi ini. Matanya tertuju pada headline koran tersebut.

Hari ini, 22 Tahun yang Lalu.

Suara alarm mobil terdengar lagi. Asap yang mengepul di kejauhan sudah tidak terhitung jari. Seorang gadis 18 tahun bersembunyi di bawah meja. Gadis itu berusaha berlindung dari bebatuan tajam yang menghujam kaca toko. Ia mengetik pesan dengan jari gemetar. Ia berusaha menghubungi orang tuanya agar mereka segera menjemputnya. Namun hasilnya nihil. Tidak ada jawaban sejak pesan yang ia kirim 1 jam yang lalu.

Terdengar seseorang berseru-lebih seperti mengajak-di antara kerumunan orang-orang itu. Dalam hitungan detik, bebatuan yang datang semakin ramai. Sudah tak terhitung berapa banyak pecahan kaca yang menusuk kulit gadis malang itu.

Keramaian di luar toko kelontong keluarganya sudah tidak bisa dihalau lagi. Amukan massa sudah tidak dapat dibendung. Dengan gagah beraninya orang-orang tersebut masuk ke dalam. Maneki-neko yang diharapkan dapat membawa keberuntungan, seperti tidak ada gunanya. Kucing emas itu malah seakan-akan mengajak orang-orang jahat itu masuk dengan lambaian tangannya.

Tak butuh waktu lama hingga mereka menemukan gadis itu. Mereka menariknya keluar. Gadis itu meronta, meminta tolong, bahkan memohon kepada orang-orang itu. Namun mereka seakan buta dan tuli. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Gadis itu dilemparkan ke aspal jalanan yang panas karena teriknya mentari. Lalu mereka melucuti baju kesayangan gadis itu. Baju biru hadiah dari mama di hari ulang tahunnya bulan lalu. Tangan-tangan keji itu menyentuh tubuhnya yang gemetar. Tidak peduli seberapa keras ia berteriak, mereka tetap melecehkan gadis itu. Beramai-ramai. Di tempat terbuka.

Mereka berhenti setelah salah seorang dari mereka menyuruh yang lainnya berhenti. Tidak. Mereka berhenti bukan karena merasa puas. Mereka berhenti karena mengira gadis itu telah mati. Memang itulah yang diharapkan gadis itu. Mati di tangan orang-orang bengis itu. Daripada ia harus menanggung malu dan trauma seumur hidupnya. Namun takdir berkata lain. Tuhan masih ingin dia berjuang melanjutkan hidupnya.

Pertolongan itu datang. Wujudnya adalah seorang ‘malaikat’ berkemeja putih polos. Gadis itu diselimuti kemudian dibopong masuk ke dalam mobil dibantu seorang ‘malaikat’ lainnya. Entah ke mana mereka akan pergi. Gadis itu tidak peduli, pandangan matanya kosong. Sementara ‘malaikat’ tadi berusaha membalut luka-luka gadis itu yang terus mengeluarkan darah. Tetapi ‘malaikat’ itu tak mampu membalut trauma yang ia alami. Trauma yang akan ia derita selama sisa hidupnya.

  • Bagikan