[Cerpen] Menyerah

  • Bagikan
Dok. Pribadi/Raisah Uya

KEKER.FAJAR.CO.ID – Gelap, hanya itu yang bisa kulihat. Ingin rasanya berteriak memohon pertolongan, namun mulut seolah tak pandai berkata. Aku hanya bisa terduduk meringkuk lemah, berharap ada sepercik keajaiban yang ingin menengokku.

“Biru…” Suara itu terdengar seperti bisikan dari ujung ruangan. Kepalaku perlahan keluar dari persembunyiannya, namun sama, tak ada yang berubah, hanya ada gelap yang menerpa.

“Biru.” Lagi-lagi suara itu muncul, namun kali ini terdengar lebih jelas dibanding bisikan sebelumnya. “Apakah kamu pantas mengabaikan keajaiban?” Aku ingin menjawabnya, namun mulutku seakan terikat rapat-rapat. “Jangan takut, mendekatlah padaku” katanya.
Kakiku rasanya sangat lemas bahkan hanya untuk sekadar berdiri-pun tidak bisa. Aku berusaha bangkit, namun lagi-lagi Aku terjatuh hanya karena tak sanggup menopang tubuh kurusku. “Kamu tidak boleh menyerah. Ingatlah, keajaiban tidak akan datang dua kali.” Benar katanya, jika Aku menyerah sekarang, apakah keajaiban sepertinya akan datang di lain waktu?


Aku mengerahkan semua tenagaku. Berhasil, Aku bisa melangkahkan kakiku meski tertatih-tatih. Aku berjalan menapaki pekatnya ruangan ini, walau hanya bermodal naluri, Aku yakin akan menemukan asal suara itu. Setelah cukup lama berjalan, Aku menemukan setitik cahaya berada agak jauh di depanku. Lalu, kurasakan cahaya itu melambai padaku dan mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Tepat sepersekian detik kemudian cahaya itu berubah menjadi sosok yang terlihat familiar.

“Ayah!” Aku berusaha keras mengeluarkan suara, dan kata pertama yang berhasil kusebut adalah Ayah. Aku ingat jelas, dia Ayah yang setahun lalu meninggalkanku. “Ini di mana Ayah?” tanyaku pada Ayah.

“Di tempat yang sangat jauh dari rumah,” jawab Ayah dengan senyuman indahnya. Semakin lama, ruangan ini semakin terang dan tampak seperti jalan yang luas. Ayah membawaku pergi dari sini, entah kemana, Aku-pun tak tahu. 
“Kita mau kemana Ayah?” tanyaku.
 “Pergi menemui Ibu.” Aku senang bukan kepalang, sudah lama Aku tak menemui Ibu.

Ayah membawaku ke taman. Di taman itu nampak sosok Ibu yang duduk di bangku dan ada empat orang anak sebayaku tengah bermain bola bersama.

“Kamu ingin bermain bersama mereka?” tanya Ayah dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya. 

“Boleh?” tanyaku tersenyum senang. “Tentu saja,” katanya.
Ayah mengajakku menemui Ibu terlebih dahulu. Aku memeluk Ibu erat, Aku sangat rindu akan sosok Ibu, Ibu juga sama seperti Ayah, meninggalkanku setahun lalu saat Aku masih butuh sosok mereka. Setelah memadu rindu bersama Ibu, mereka-pun mengajakku ke arah segerombolan anak tadi. Mereka memperkenalkan namanya, Farhan, Arka, Faiz, dan Zian. Aku-pun memperkenalkan diri sebagai Biru. Mereka senang dengan kehadiranku.

Aku dan mereka bermain bola dengan riangnya, Ayah dan Ibu kembali duduk di kursi taman sembari melihat kami bermain. Aku menunggu hingga mereka berbicara, namun suara mereka tak kunjung muncul. “Kenapa Ayah, Ibu?” Akhirnya Aku bertanya. Ayah dan Ibu tiba-tiba saja memasang muka serius. “Biru, dengarkan Ayah” kata Ayah serius. Aku hanya bergeming menunggu apa yang akan dikatakan Ayah selanjutnya.

“Biru, Ayah ingin meminta maaf karena selama ini tidak pernah membahagiakan Biru. Ayah hanya membuat Biru menderita. Sekarang, Kamu harus mencari kebahagiaan sendiri. Berjuanglah, Ayah yakin Biru pasti bisa. Jangan pernah menyerah, Ayah tidak suka orang yang mudah menyerah. Tenanglah nak, Ayah dan Ibu janji kebahagiaan akan datang padamu. Biru harus bersabar sebentar saja,” ucap Ayah dengan mata yang berkaca-kaca. Lagi-lagi aku hanya bergeming, bukan menunggu hal yang akan dikatakan Ayah selanjutnya, tapi karena Aku sama sekali tak mengerti apa yang Ayah ucapkan.

Teman baruku datang dan kembali mengajakku bermain. “Pergilah nak, kebahagiaanmu ada di sana.” Aku tak mengerti, kebahagiaan apa? Farhan memegang tanganku. “Farhan, tolong jaga Biru baik-baik,” kata Ayah kepada Farhan. “Baik Om,” jawab Farhan.

Selanjutnya, kulihat Ayah dan Ibu kembali berubah menjadi cahaya. Taman inipun mulai redup perlahan kembali menjadi ruangan gelap. Farhan melepaskan genggamanku dan kemudian lenyap tak tahu kemana, begitupun dengan tiga temanku yang lain.

Tiba-tiba dadaku terasa sakit, napasku mulai tersendak-sendak. Aku terjatuh berlutut kembali tak kuat menopang tubuh. Dadaku semakin sakit, bahkan lebih sakit dari yang terakhir kali  kurasakan. “Ayah, Ibu, tolong…”

Flashback on

“Biru, Ibu mohon jangan lakukan ini.” Ibu panti terus membujukku agar tidak nekat melakukan suatu hal yang tidak diinginkan. Telingaku seakan tuli, tak mampu mendengar apa yang dikatakan Ibuku. Aku juga tidak ingin seperti ini, tapi entah mengapa ragaku terlalu lelah untuk bertahan.
“Apa gunanya Ibu? Biru hanya beban disini, bahkan jatah makan teman Biru berkurang hanya karena harus membeli obat Biru. Biru capek jadi beban,” ucapku putus asa.
“Apa ada yang pernah bilang kalau Biru itu beban? Tidak ada kan? Kami melakukan itu karena kami semua sayang pada Biru.”
“BOHONG! Kalian melakukan itu hanya karena kasihan padaku, IYAKAN?! Lebih baik Biru mati daripada menjadi beban buat kalian.”
“Kami semua sayang sama Biru, turun nak. Ibu mohon.” Ibu panti terus mencari akal agar Aku mau turun dari pembatas rooftop panti.
“Alya sayang sama kak Biru. Ayo kak Biru turun, Alya mau dipeluk sama kak Biru,” ucap bocah lima tahun itu dengan mata berkaca-kaca.
“Laura juga sayang sama kak Biru.”
“Alea juga!”
“Alka juga!”
“Biru, gak ada yang paling mengerti aku selain kamu. Please jangan lakuin ini,” kata Farhan, sahabatku.
“Lihatlah Biru, kami semua sayang padamu. Tak ada yang menganggapmu sebagai beban. Ingatlah nak, kalian semua adalah saudara.” Semua temanku berbondong-bondong menyemangatiku dan mereka juga berkata bahwa mereka menyayangiku. Kupikir mereka membenciku karena Aku adalah anak penyakitan.
Perlahan-lahan Aku memundurkan langkahku. Setelah kupikir-pikir tak ada gunanya melakukan ini, sakit di dunia akan berakhir, tapi bagaimana dengan di akhirat? Aku turun dari tempatku dan segera memeluk Ibuku erat, disusul dengan teman-teman memelukku dengan tak kalah eratnya. Dalam pelukan itu kurasakan dadaku kembali nyeri, sebelum akhirnya Aku kembali menutup mata dengan tenang. “Terima kasih semuanya.”

Flashback off

“Ayah… Ibu,” lirihku.“Biru… kamu sudah sadar.” Aku tak bisa melihat orang yang memanggil namaku, mataku seakan dipaksa tertutup. Aku berusaha membukanya, namun ragaku seakan menolak untuk aku membuka mata. “Biru… bangun nak.” Suara itu terus memanggilku. Dadaku mulai sakit setiap kali dia memanggilku. “Biru!” teriaknya.Keajaiban terjadi, mataku perlahan terbuka menampilkan ruangan putih bersih. Aku melihat Ibu panti menampilkan wajah khawatir. “Sakit…” kataku memegang dada yang masih saja sakit. “Ibu panggil dokter dulu ya,” katanya.Dokter berkata bahwa jantungku sudah semakin lemah dan harus sesegera mungkin mendapat pendonor. Tapi peluangku sangat kecil. Rasanya Aku benar-benar menyerah sekarang.“Hei, Aku yakin semuanya akan baik-baik saja,” ucap sahabatku meyakinkan.Semua orang sudah menyemangatiku, Ibu panti, sahabat-sahabatku, teman-temanku, bahkan Ayah dan Ibuku datang di mimpiku hanya karena ingin menyemangatiku.

  • Bagikan