KEKER.FAJAR.CO.ID – Aku benci diriku sendiri. Aku benci ketika orang mengatakan bahwa hidupku beruntung, tanpa mereka tahu apa yang kualami.
Alasan kenapa aku sangat membenci diriku adalah, karena aku selalu saja tetap berusaha menjaga perasaan orang lain, meski pada nyatanya di sini perasaankulah yang paling terluka. Aku selalu mencoba untuk mencari sebenarnya dimana kebahagiaan itu? Aku selalu berpikir, “Mungkin ini karena aku memiliki banyak dosa.”
Aku terlonjak kaget ketika ibu masuk ke kamarku, membanting pintuku dan langsung menamparku. Hatiku hancur, tidak cukupkah penderitaanku selama ini? Sekarang apa lagi?
“APA MAKSUDMU MEMBONGKAR RAHASIA IBU KE AYAHMU HAH?! BANGGA KAMU?! BANGGA SOK JADI PAHLAWAN!! SOK MAU MENASEHATI IBU HAH?!” Ibu murka karena aku membocorkan perselingkuhannya. Awalnya aku ingin menahannya sedikit lagi, tapi aku sudah tidak tahan dengan kelakuannya.
Aku sudah lelah harus terus hidup seperti ini, sampai kapanpun kebahagiaan itu tidak akan pernah datang untukku. Kuambil seutas tali dari gudang belakang, lalu kuikat tali itu pada leherku, sambil mengatakan dalam hati bahwa ini keputusan benar, seharusnya ini berakhir, daripada bertahan hanya akan menambahkan luka.
Kupandang sekali lagi sekitarku, lalu kuarahkan kursi yang menjadi penopang antara hidup dan matiku, hingga bisa kurasakan pernafasanku mulai tercekik, sedikit demi sedikit kesadaranku mulai menipis, air mataku keluar menandakan betapa sakitnya tubuhku, tapi ini sebanding dengan sakitnya hatiku selama ini dan akhirnya semua menjadi gelap.
“Nak! Bangun!” suara siapa itu? Suaranya semakin terdengar jelas
Secara perlahan kubuka mataku. Samar-samar melihat seorang wanita paruh baya dan seorang anak kecil berusaha menyadarkanku.
“Aku dimana?” tanyaku penasaran dengan berusaha menahan rasa pusing
.
“Kamu ada di Panti asuhan Al-kasih, tiba-tiba Adara berteriak memanggilku karena menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di halaman belakang,” jelas ibu bernama Asih itu.
Aneh, kenapa aku bisa sampai di panti asuhan?
“Minumlah, Nak,” Ibu itu menyodorkan segelas teh hangat, kuminum perlahan teh tersebut, sekali lagi aku masih bingung apa yang terjadi?
“Saya buatkan bubur dulu yah,” kemudian ibu itu berlalu. Aku tiba-tiba menyadari sesuatu, ada anak gadis di sini, dia hanya diam memandangiku.
“Namamu, Adara?” tanyaku, dia memandangku ragu.
“Iya, namaku, Adara Fredella Ulani, kakak?” tanya adik manis itu masih menatapku.
“Namaku, Anindira Maheswari. Panggil kakak Nindi,” ucapku dengan akrab.