KEKER.FAJAR.CO.ID – Salam, Pak! Salam hangat dari kami, siswa angkatan corona. Begitulah lulusan sekolah generasi kami dilabeli orang-orang. Saya seorang pelajar dari SMA Insan Cendekia Syech Yusuf. Satu dari segelintir siswa angkatan pandemi, yang beranjak dari SMP melintasi dunia digital yang gersang. Anda tahu bagaimana rasanya lulus SMP dirayakan dengan semarak kebahagiaan atau tangis haru siswa dan para guru. Tapi kami tidak, Pak.
Kiwari ini, semua berbeda. Sekadar mengucapkan kalimat, “selamat tinggal” dengan sedikit peluk hangat, tak lagi bisa dilakukan. Saya hanya dapat bertegur sama via media sosial, dibubuhi sedikit emoticon yang tak mampu menampung segala rasa kami, Pak.
Masih lekat dalam ingatan saya kala ujian SMP, yang masih mencuri-curi kesempatan dan melakukannya secara luring. Hari itu, saya pikir semuanya sudah baik-baik saja. Semua bisa berjalan normal kembali.
Banyak planning yang saya rancang dengan teman-teman. Kami berekspektasi tinggi dapat merayakan kelulusan dengan meriah. Lalu menghabiskan waku bersama di Norsyah. Menikmati kemolekan pesisir barat Kepulauan Selayar. Atau kami berkumpul di lapangan bersama para guru, menikmati detik-detik terakhir di sekolah. Saling merangkul penuh haru dan bahagia sekaligus. Menyanyikan lagu perpisahan yang melankolis. Mengucapkan sepatah kata yang dipanen dari kedalaman hati kami. Tempat para guru menanamkan harapan.
Sayang, tiga hari sebelum ujian akhir sekolah usai, secarik kertas yang dilayangkan pemerintah kepada kepala sekolah, turut mengalamatkan kekecewaan pada kami. Ketika surat itu dibacakan, tak ada dari kami yang mampu bersembunyi dari kesedihan dan kekecewaan yang datang tiba-tiba. Semua planning kami, akhirnya sekadar wacana semata.
Anda mungkin tak akan mengerti perasaan kami. Bagi saya, sekolah itu candu Pak. Bukan seperti kebanyakan orang yang memandang sekolah sekadar tempat di mana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar tok. Begitulah kira-kira yang diguratkan Roem Topatimasang dalam buku Sekolah itu Candu.