“WAHAI PARA INSAN SEKALIAN!” Suaraku menggema yang kemudian mengalihkan atensi orang-orang untuk menatap kearahku.
“ITU DIA! ORANG ASING SOK SUCI DAN MERASA PALING BENAR! HIDUPNYA PENUH ATURAN DAN KEKANGAN, DIA IRI KEPADA KITA YANG BEBAS MELAKUKAN APA SAJA HAHAHAHA” Suara dengan nada mengejek itu berasal dari seorang pria berperut buncit dengan sebotol bir di tangannya. Perkataannya kemudian disusul dengan suara-suara terbahak lainnya.
“Maaf paman, saya ingin bertanya. Apakah dengan kebebasan yang paman sebutkan tadi dapat memuaskan jiwa dan mencapai ketenangan hati? Bukankah kita tidak pernah merasa puas akan hal duniawi? Apakah paman bisa memikirkan apa yang akan terjadi di kehidupan selanjutnya? Atau pernah berpikir tentang semua perbuatan punya konsekuensinya masing-masing?” Aku menyerang pria tadi dengan serentetan pertanyaan yang membuat setiap insan yang hadir di sana terdiam sejenak.
“Ketahuilah, saya hanya menyampaikan wahyu yang diturunkan Allah Swt. Tuhan dari segala Tuhan, Tuhan yang maha esa, yang maha kuasa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Wahyu yang diturunkan melalui perantara malaikat jibril ke seseorang yang tak pandai membaca lagi menulis, terkenal dan diakui sebagai orang yang jujur oleh kaumnya, jauh sebelum diangkat menjadi rasul. Seseorang yang bernasab baik lagi mulia. Ialah nabi Muhammad Saw. Ia datang membawa kedamaian dan keamanan. Menjamin kesejahteraan dan menjanjikan ketenangan jiwa. Menyelamatkan insan dari jurang kebodohan dan kebinasaan” tuturku panjang lebar yang lagi-lagi membuat keheningan di antara ramainya raga yang ada.
“Saya menyeru kepada kalian semua, masuklah ke dalam agama di mana setiap hal punya aturan. Aturan yang ada bukan untuk mengekang, aturan ada agar hidup tidak berantakan dan berjalan dengan seharusnya. Ialah Islam, agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
Kemudian aku mengedarkan pandangan keseliling. Nampak orang-orang sedang berpikir apa maksud dari perkataanku. Hingga seorang remaja maju, pakaian yang ia kenakan tak beraturan, kulit sawo matang dengan rambut yang dicat merah terang, berteriak lantang menentang apa yang kukatakan “HEY KAU HANYA ORANG ASING! SIMPAN SEMUA OMONGANMU UNTUK DIRIMU SENDIRI. KAU TIDAK PANTAS ADA DI SINI. DASAR ORANG ASING!”
“Apakah kalian tidak berpikir ada benarnya perkataan gadis itu?” Ujar seorang wanita dengan pakaian lusuh, wajahnya penuh lebam bekas kekerasan dengan raut muka yang menyiratkan rasa lelah. Telunjuknya mengarah kepadaku.”Selama ini aku terus mencari apa itu ketenangan jiwa. Ketika aku mendengar perkataan gadis itu, hatiku bergetar. Mungkin inilah jawaban yang selama ini yang kucari-cari. Nak, tuntun aku masuk ke agama yang kau anut.” Jelasnya dengan nada memohon. “Aku juga ingin!” “Aku juga!” Suara-suara penolakan terganti menjadi sebuah permohonan penuh semangat.
“Dengan senang hati” balasku dengan bibir tertarik ke atas hingga gigi-gigiku terlihat. Aku menyahut dengan raut wajah bersemangat.
Kini, para insan yang hadir terbagi menjadi dua kubu. Yang setuju dan tidak setuju. Hanya sedikit sekali yang setuju dan masih banyak lagi yang menolak bahkan menentang. “Tak apa, ini masih awal perjalanan.” Ucapku lirih menyemangati diri.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing”
(HR. Muslim no. 145).
Cerpen ini ditulis oleh perempuan kelahiran Gowa, 23 Oktober 2006. Ia mempunyai nama lengkap Sitti zaenab alfitriyah yang kerap disapa Zaenab. Anak pertama dari 5 bersaudara yang mempunyai hobi membaca, makan dan tidur. Ia juga mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis dan jadi ibu kos yang punya kos lima puluh pintu.