Baca Cerpen “Nanti saja!”, Tentang Seorang Penulis yang Keras Kepala

  • Bagikan
keker

“Nanti saja!” kata yang sering keluar dari mulut ini, entah kenapa kebanyakan orang mendapatkan kesempatan untuk mengatakan “ Nanti saja!”.

Aku tinggal di kota yang terletak di Sulawesi Selatan, tepatnya di kota Makassar. Aku orangnya sangat penyindiri, pemalu dan tidak mudah bersosialisasi dengan orang lain ataukalau bahasa sekarang, aku itu introvert. Namun, tahukahkalian bahwa pelajaran favoritku itu Bahasa Indonesia loh.

Orang lain tidak tahu kalau aku itu suka dengan apa-apayang berbau sastra. Aku suka menulis puisi dan menuliscerpen, tetapi aku hanya membuatnya untuk meluapkanperasaan sedih dan senang, apa pun itu yang sedang aku alamiaku akan mengambil pena dan kertas untuk meluapkan semuaitu. Semua itu aku simpan di dalam buku rahasiaku. Aku biasamemanggil buku itu ‘buku perasaan’.

Sampai suatu ketika ada satu orang yang menemukan ‘buku perasaan’ milikku itu, orang itu adalah ibuku sendiri.


Aku pulang sekolah seperti biasanya dan ibuku langsungmenghampiriku dengan raut wajah yang gembira.

“Anakku, ibu tidak tahu ternyata kau selama ini suka menulis?”

“Iya bu, aku sangat suka menulis.”

“Ibu sudah mendaftarkanmu untuk lomba menulis cerita.”

“Tidak!!! aku tidak mau!”

“Kenapa kau tidak mau ? kau itu berbakat.”

“Nanti saja, aku tidak mau ada yang tau kalau aku itu suka menulis”

Setelah perdebatan panjang dengan ibu, aku langsungmenuju kamarku. Aku tahu apa yang kalian akan katakan.

“Kenapa orang ini sangat keras kepala , padahal ini kesempatan yang bagus baginya.”

Aku memang saat itu sangat tidak ingin ada yang tahubahwa aku suka menulis.


Keesokan harinya aku meminta maaf pada ibu sebelum berangkat sekolah, ibu pun sebaliknya, meskipun aku tahu kejadian itu akan terulang.

Sampainya aku di sekolah, ternyata hari itu ada anak baru, namanya Dita. Awalnya biasa saja, dalam artian tidakada niat untuk berteman dengannya sama seperti orang lain di kelasku. Dita memperkenalkan dirinya di depan kelas, Bu guru menyuruhnya duduk di sampingku karena satu-satunyabangku yang kosong hanya yang di sampingku.

“Dita kau duduk disamping Lea.”

“Baik, Bu.” Dita berjalan menuju bangkunya dan saat ituaku mendengar suara-suara bisikan kelas.

“Kenapa Dita duduk di situ?”

“Pasti Dita akan minta pindah bangku yang lain.”

“Mana mungkin ada orang yang tahan duduk dekat ‘Manusia es’ itu.”

“Hai aku Dita, siapa nama mu ?” sapa Dita dengan ramah.

“Lea” jawabku cuek.

“Hai Lea, semoga kita bisa berteman baik.”

“Ya,” jawabku lagi tanpa sedikit pun melirik Dita.

Itulah percakapan singkat pertamaku dengannya.

“Oke anak anak mata pelajaran pertama kita hari iniadalah Bahasa Indonesia, silahkan diambil bukunya.”

Dita mengambil bukunya seperti anak anak yang lain sedangkan aku seperti biasa tidak memperhatikan guru dan tidur sepanjang pelajaran berlangsung.

“Lea kamu sudah kerjakan tugas yang ibu berikan pekanlalu, membuat puisi tema Indonesiaku.”

“Belum bu.”

“Mana mungkin Lea kerja tugas itu seperti sudah melawanhukum alam.”

“Lea itu ga berbakat bu.”

Sahut teman teman Lea

“Sudah, ibu tanya Lea bukan yang lain, bagaimana Lea?”

“Belum bu.”

“Ya sudah kalua belum kamu tidak dapat nilai untuk hari ini.”

Dita melihatku dengan tatapan kasihan.

“Kenapa kamu tidak mengerjakannya?”

“Aku hanya.. tidak mau.. itu saja.”

“Mau aku ajari?”

  • Bagikan