“Loh, kenapa? Emang kamu gak kesepian gak punya teman?” tanya Cairo lagi.
Aku menoleh ke arahnya, “Lebih baik aku kesepian daripada kejadian kemarin keulang lagi.” ungkap ku padanya lalu menunduk kan kepala.
Cairo tertawa keras, “HAHAHAHA, santai aja, gak bakalan keulang kok.”
Aku hanya diam menatapnya, dia kemudian berhenti tertawa dan menatap mataku serius. Aku sedikit gugup, tapi berusaha menahannya.
“Jujur, aku sangat merindukanmu. Gema juga merindukan kamu yang katanya suka ngomel-ngomel gak jelas dan hanya diam karena tidak mengerti. Dia bahkan menyuruh ku mengajarinya bahasa isyarat supaya mengerti isi omelan kamu.” ungkap Cairo dengan tawa kecilnya.
Aku diam sejenak menatap sepatuku, “Apa konsekuensi yang kalian dapatkan jika hal kekanak-kanakan kemarin terulang lagi, Cairo? Jujur, hatiku sakit saat dan tidak tenang saat kalian tidak saling mengenal.” resahku.
Cairo mengadahkan kepalanya keatas langit, “…Whatever it is we accept it, even if you ask to leave…” gumam Cairo yang masih bisa kudengar.
Mendengar itu, aku lantas tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, aku ingin berbaikan dengan kalian. Makasih sudah mau melihat wajahku yang tak tau diri ini… Aku beruntung bertemu kalian berdua sebagai teman ku.” ungkap ku padanya.
“Sepertinya gue ketinggalan banyak topik nih? Ulang dong, gue juga mau nimbrung.” Celetuk kak Gema yang tiba-tiba datang membawa banyak makanan.
“Gue bilang juga apa, beli makannya bentaran aja” sinis Cairo.
“Gak ah, gue takut ketawa ngeliat muka sendu Kale!” ejek kak Gema padaku yang mataku berkaca-kaca.
“Nangis aja kali, kamu kan cengeng!” kak Gema semakin mengejek diriku.
“Menyebalkan banget sih!” kesalku dengan mengalihkan wajahku ke arah Cairo yang sudah melahap makanan yang dibawa kak Gema.
Aku terkekeh kecil melihat nya, “Cairo kamu ini lapar apa gak makan setahun? Lahap banget” godaku padanya.
Kak Gema mencubit lengan Cairo, “Setidaknya lo tau diri dikit, gue sama Kale nanti gak kebagian bodoh!” omel kak Gema.
“Kalian yang lelet tau!” balas Cairo sinis.
Aku hanya tersenyum dan tertawa kecil melihat mereka berdua adu mulut. Lega rasanya karena kami telah berbaikan, bersyukur mereka masih mau melihat wajahku ini dan bercanda denganku. Sungguh, aku sangat bersalah telah membuat mereka tidak saling mengenal. Hari ini aku sangat senang, terima kasih untuk kalian berdua, Naskara Cairo dan Gemala Haziel.
“Jadi begitu kisah Bunda dan om Cairo sama om Gema. Gimana menurut kamu?” aku bertanya kepada gadis remaja yang sedang tidur di pahaku.
Pasti rasanya sangat tidak enak menjadi bunda saat itu… Tapi, bukannya dicerita bunda tadi, om Gema bilang kalo om Cairo suka sama bunda ? Terus, kenapa bunda gak sama om Cairo?” tanya anak gadisku, Zhavalea Arunika.
Aku tersenyum teduh padanya, “Bunda sudah memiliki prinsip untuk tidak menjalani hubungan lebih dengan sahabat, makanya seusai itu bunda dan om Gema buat misi dekatin om Cairo dan tante Bintang. Walaupun, tante Bintang dulu sangat menyebalkan sama bunda.” ungkap ku padanya.
Zhavalea mengangguk mengerti, “Oalahh gitu, jadi om Cairo sama Tante Bintang. Om Gema sama Tante Razhela.
“Pintar anak bunda!” pujiku.
“Siapa dulu dong bundanya! Bun, aku kembali ke kamar yah? Sudah ngantuk soalnya.” terang Zhavalea. Aku pun mengangguk dan mengecup kening nya singkat. Lalu dia beranjak meninggalkan kamar ku.
Tinggal diriku sendiri, aku beranjak dari kasur ku dan mengambil 1 album yang terisi penuh dengan foto-foto masa mudaku. Mataku berkaca-kaca melihatnya. Malam itu, aku menghabiskan waktu untuk bernostalgia seraya menunggu ayah Zhavalea pulang kerja.
“Kisah yang singkat, tapi menyenangkan bersama kalian.” Pikirku.
SELESAI