“ auu’, disumbangkanmi bajumu. “
“ Kenapa nda mu ambilkanka. “
“ Nda ikutka kumpul karena sudah semuaji ku ambil saya bajuku. “
Mendengar hal tersebut, tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke tempat jemuran dan memeriksa pakaianku. Aku sangat marah, semua pakaianku sudah tak ada. Pasti pakaiannya sudah dibawa ke luar untuk dibagikan.
Aku tidak terima dengan hal ini, aku segera menghubungi orang tuaku dan menceritakan hal ini. Aku bercerita mengenai perbuatan pembina asramaku yang dengan seenaknya menyumbangkan baju siswa tanpa izin.
Aku sedikit menyesal telah berbohong kepada orang tuaku, seolah-olah ini semua kesalahan dari pembina asrama. Aku sangat takut jika masalah ini berkepanjangan dan didalami. Pasti aku yang bersalah, pasti akan mendapatkan hukuman atau teguran keras semacamnya. Tapi, aku tidak memiliki pilihan yang lain. Aku sangat marah dengan kejadian ini. Aku tetap tidak terima, meski ini memang kesalahanku karena sifat malasku.
Aku masih sangat khawatir dengan apa yang sudah aku lakukan. Sudah pasti orang tuaku telah menelepon pembina asramaku. Aku sebenarnya tidak tahu pembina dari lorong mana yang melakukan pelelangan tersebut. Aku lupa menanyakan pada Rayhan, karena aku sudah sangat buru buru ke jemuran.
Bukan soal menelpon saja yang ku pikirkan, tapi mengenai kerumitan yang akan terjadi di masalah ini. Orang tuaku pasti hanya menghubungi pembina asramaku, namun aku tak tahu apakah yang melelang pakaian kemarin pembina dari lorongku atau bukan. Jika hal itu terjadi pasti lah masalah ini akan beredar kemana mana.
Sehabis mandi hingga selesai shalat dzuhur dan makan siang, yang aku pikirkan hanyalah masalah ini. Tak ada habis-habisnya aku memikirkan jalan penyelesaiannya.
Sesampainya di asrama, aku melihat banyak yang langsung istirahat ada juga yang tak henti bermain laptop. Aku mengarah ke arah bawah, terdapat banyak pula siswa yang mencuci. Awalnya aku berniat mencuci juga, tapi sepertinya waktunya tidak tepat. Ada hal yang lebih genting untuk diselesaikan. Tak lain dan tak bukan pasti soal kecerobohanku.
Aku merasa sangat serba salah, di sisi lain aku ingin bajuku kembali dan berada di tanganku tapi di sisi yang lain pula aku telah melakukan kebohongan yang justru lebih besar kerugiannya untuk kehidupan dan kenyamananku di asrama.
Terdiam dan duduk merenung di kamar, berusaha menghela napas mencoba menenangkan diri. Harap-harap datang keajaiban yang membuat beban pikiran ini mereda. Tak kunjung ada cara yang kutemukan, mencoba untuk ikhlas tapi juga tak bisa. Aku ingin pertahankan egoku tapi rasanya ini tak bisa.
Setelah hampir satu jam melamun, akhirnya aku mencoba dewasa dengan mengambil keputusan untuk menurunkan sedikit keegoisan dalam diriku dan mencoba lebih ikhlas. Entah malaikat apa yang datang menghampiriku sehingga aku berpikir seperti ini.
Penuh semangat dan keyakinan, aku langsung bergegas ke meja pembina untuk mengambil telepon asrama dan menelepon orang tuaku dan tentang kejadian ini dan juga kebohonganku. Aku sudah sangat pasrah jika dimarahi. Berharap orang tuaku belum menghubungi pembina asrama. Sebenarnya tak apa, sekalipun sudah atau tidak ia menghubungi aku akan tetap akan meminta maaf kepada pembina asrama.
“ Ada yang lihat hp lorong ? “ aku bertanya kepada teman teman yang bermain laptop di sekitar meja pembina.
“ Oh, ada na ambil tadi ustadz “ jawab Takhta yang kebetulan melihat Ustadz mengambil HP tersebut.
“ Mana pale Ustadz? “
“ Masuk tadi kamarnya kulihat. “
“ Oh oke pale. “
Aku bergegas ke kamar pembina asramaku, Ust. Syahril, tapi tiba-tiba aku memikirkan sesuatu. Aku berniat menjelaskan saja terlebih dahulu kepada Pembinaku karena kebetulan aku juga ingin meminjam HP lorong.
“Assalamualaikum Ustadz…. “ aku mengetuk pintu kamar Pembinaku.
“ Waalaikusalam, ada apa? “
“ Ustadz mauka menelpon, mauka pinjam HP lorong tapi ada juga mau ku cerita sama kita. “
“ Iye cerita maki. ”
“ Begini Ustadz ada katanya pelelangan baju kemarin tapi tidak ikutka karena ketiduranka, terus disitu ada bajuku Ustadz. Terus sudah juga ku tanya orang tuaku tapi bohongka bilangka pembina asrama langsung nakasi orang bajuta di luar tanpa izin. Mauka minta maaf Ustadz ” aku menjelaskannya dengan sedikit gemetar.
“ Tidak papa ji nak, sayaji juga kemarin yang lelang baju, masih adaji di dalam baru mau kubawa nanti. Pergi maki saja nanti ambil bajuta. ”
“Alhamdulillah terima kasih Ustadz, bolehka menelpon sebentar Ustadz mauka jelaskanki di orang tuaku. ”
“ Janganmi nak, sayapa nanti tanyaki, lain kali jangan diulang di… ”
“ Iye Ustadz, terima kasih… ”
“ Iye nak. ”
Lega rasanya, ternyata orang tuaku belum menghubungi pembina. Ada satu yang tidak kalah beruntungnya, ternyata pakaianku belum dibawa keluar untuk disumbangkan. Aku sangat senang, selain masalahku selesai aku juga bisa kembali mengambil pakaianku yang kukira tak akan lagi kumiliki.
Aku sangat menyesali perbuatan ini, namun aku juga bersyukur tentunya. Aku dapat banyak pelajaran dari kejadian ini. Belajar untuk tidak berbohong, belajar untuk tidak bermalas-malasan dan tentunya belajar untuk lebih menerapkan hidup ikhlas serta menjadi pribadi yang berani dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Tak kalah penting pula, yakni belajar untuk lebih pengertian dan tidak mementingkan ego semata.
Egois ku ini jauh lebih memalukan daripada pengemis yang meminta-minta karena kelaparan. Namun skenario Allah di akhir cerita masalahku seolah pemandangan indah yang muncul saat matahari akan terbenam. Malamnya tidak lagi menjadi suram, tetapi akan indah karena dipenuhi dengan bintang-bintang. Bintang-bintang itu seolah kompas yang mengarahkanku kepada tujuan hidup yang lebih baik tanpa malas-malasan di akhir pekan. (*)