KEKER.FAJAR.CO.ID – Di zaman ketika setiap detik dipenuhi suara dari notifikasi ponsel, percakapan online, hingga lalu lintas kota sunyi menjadi barang langka. Padahal, justru dalam diam, banyak hal penting bisa ditemukan: ketenangan, kejernihan berpikir, bahkan diri kita sendiri. Apakah kita masih punya ruang untuk keheningan?
Kebisingan hari ini bukan hanya soal suara fisik. Ia juga datang dalam bentuk informasi yang terus mengalir, tuntutan sosial, dan pikiran yang tak kunjung hening. Banyak dari kita hidup dalam mode responsif: selalu siaga, selalu terhubung. Akibatnya, kelelahan mental dan kecemasan jadi semakin umum dirasakan.
Keheningan bukan sekadar tidak bicara atau tidak ada suara. Ia adalah ruang untuk merenung, untuk merasa tanpa gangguan, dan untuk benar-benar hadir. Namun, keheningan sering dianggap canggung, membosankan, bahkan mengintimidasi. Kita lebih nyaman dalam riuh karena sunyi memaksa kita berhadapan dengan isi pikiran sendiri.
Padahal, dari sunyi lahir pemahaman. Dari sunyi, ide tumbuh. Dari sunyi, luka bisa sembuh.
Tidak semua orang bisa langsung bermeditasi di pegunungan. Tapi keheningan bisa diciptakan, dimulai dari hal-hal kecil:
Matikan Notifikasi Sejenak: Biarkan dunia berjalan tanpa kita selama beberapa menit. Rasakan perbedaannya.
Cari Tempat Tenang: Duduk di taman, di pojok kamar, atau bahkan di toilet bisa jadi bentuk “ruang sunyi” yang menyegarkan.
Jangan Takut Bosan: Bosan adalah jalan masuk ke kreativitas dan refleksi. Izinkan dirimu diam tanpa distraksi.
Jadwalkan Keheningan: Sama pentingnya dengan meeting, waktu untuk diam juga perlu dijadwalkan secara sadar.
Pada akhirnya, sunyi bukan pelarian, tapi pulang. Ia mengingatkan kita bahwa di balik kebisingan dunia luar, ada dunia dalam yang layak didengarkan.
Jadi, apakah keheningan adalah kemewahan? Mungkin. Tapi justru karena itu, ia layak diperjuangkan. Karena dalam diam, kita bisa kembali menjadi manusia seutuhnya.
Fitrah