KEKER.FAJAR.CO.ID – Dalam hidup yang penuh deadline, target, dan agenda tanpa henti, rasa jenuh sering dianggap sebagai musuh. Kita terbiasa menyingkirkan kebosanan dengan distraksi scroll media sosial, buka tab baru, nonton tanpa henti. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apa sebenarnya makna dari rasa jenuh itu?
Bosan bukan tanda kita malas. Justru, ia bisa menjadi sinyal penting bahwa jiwa kita butuh rehat atau arah baru. Di balik rasa jenuh, mungkin tersembunyi potensi untuk tumbuh, untuk mencipta, atau bahkan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.
Namun, di budaya yang mengagungkan kesibukan, kita sering merasa bersalah saat tidak produktif. Kita diajarkan bahwa waktu kosong adalah waktu yang terbuang. Padahal, dari kekosongan itulah kreativitas sering muncul. Banyak ide hebat lahir bukan saat kita sibuk, tapi saat kita membiarkan pikiran mengembara.
Merayakan kejenuhan bukan berarti pasrah. Ini tentang memberi ruang untuk jeda. Tentang menerima bahwa tidak semua hari harus “berprestasi”. Bahwa merasa datar sesekali itu sangat manusiawi.
Bagaimana kita bisa berdamai dengan rasa jenuh?
Berhenti Melawan, Mulai Mendengarkan: Alih-alih buru-buru mengusir jenuh, coba dengarkan. Apa yang sebenarnya tubuh dan pikiranmu butuhkan?
Luangkan Waktu Kosong Tanpa Gawai: Biarkan pikiran berjalan tanpa arah. Di sanalah sering lahir kejernihan.
Ubah Pola, Bukan Tujuan: Kadang, kita hanya butuh cara baru, bukan jalan baru. Ganti rutinitas, bukan impianmu.
Beri Diri Izin untuk “Tidak Ngapa-ngapain”: Kita tidak diciptakan untuk terus bergerak. Diam juga bagian dari perjalanan.
Pada akhirnya, jenuh bukan akhir dari semangat tapi mungkin, awal dari arah yang lebih jujur. Ia mengajak kita berhenti sejenak, untuk kembali melangkah dengan sadar.
Jadi, apakah rasa jenuh harus disingkirkan? Tidak. Karena terkadang, dalam jenuh itulah kita menemukan kembali diri kita yang sebenarnya.
Fitrah
