KEKER.FAJAR.CO.ID – “Lagi sibuk, ya?” Kalimat ini seolah menjadi bentuk pujian modern. Sibuk berarti penting. Sibuk berarti sukses. Sibuk berarti dibutuhkan. Tapi di balik kalimat yang tampak positif itu, tersimpan pertanyaan yang lebih dalam: Apakah kita benar-benar sibuk, atau hanya takut terlihat tidak berguna?
Di era sekarang, rasa nilai diri sering diukur dari seberapa penuh jadwal kita. Kalender yang kosong dianggap gagal. Waktu luang jadi sesuatu yang harus “diisi”, bukan dinikmati. Kita terus bergerak, berkegiatan, mengejar sesuatu entah apa. Dan di tengah semua itu, kita perlahan kehilangan keheningan yang menenangkan.
Fenomena ini dikenal sebagai toxic productivity kecanduan untuk terus produktif, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah lelah. Istirahat pun jadi ajang multitasking: nonton sambil balas email, liburan sambil tetap “stand by”. Kita takut diam, seolah-olah diam berarti kalah.
Padahal, tidak melakukan apa-apa bukanlah kegagalan. Itu adalah kebutuhan. Waktu hening, tanpa target, tanpa output, memberi kita ruang untuk merasa kembali sebagai manusia, bukan mesin.
Beberapa langkah kecil untuk lepas dari jebakan budaya sibuk:
Redefinisi Sukses: Ukur keberhasilan dari kepuasan hidup, bukan hanya dari pencapaian.
Jadwalkan Waktu Istirahat seperti Jadwal Penting: Karena waktu untuk diri sendiri sama pentingnya dengan deadline.
Berani Bilang “Cukup”: Kita tidak harus ikut semua kegiatan. Tidak semua peluang harus diambil.
Praktikkan Doing Nothing: Duduk. Diam. Lihat langit. Dengarkan napas. Tak harus selalu “ada gunanya”.
Produktivitas bukan musuh. Tapi saat ia mengambil alih identitas kita, saat kita merasa tak berharga jika tak sibuk, maka saatnya berhenti sejenak dan bertanya: siapa aku tanpa semua kesibukan ini?
Jadi, apakah sibuk selalu baik? Tidak. Kadang, berhenti sebentar justru langkah paling berani untuk mengenal kembali apa yang benar-benar penting.
Fitrah (Universitas Negeri Makassar, Magang PT Fajar Media Koran)