Against Myself

  • Bagikan

“Finally, they lived together happily.”Prokk! Prokk! Prokk!Sorak-sorai penonton memeriahkan ruangan kelas. Begitu pula aku. Kami memang bukan penonton yang sudah berencana untuk menyaksikan ‘Story Telling’, melainkan hanya siswa-siswa yang sedari tadi melakukan berbagai macam aktivitas lain, dan sebenarnya tidak terlalu memperhatikan seseorang yang akan berlatih di pojok belakang kelas.

Namun, sejak awal membuka suara, perhatian kami semua langsung tertuju pada si anak manis nancerdas itu, Adelia. Kemampuannya dalam berbicara di depan umum tentu membuatku cukup iri. Terlebih dengan kecerdasannya dalam berbagai mata pelajaran, semakin membuat diriku merasa seperti remahan rengginang. Hmm….

Yap. Pelaksanaan seleksi semakin dekat. Siswa-siswa yang mendaftar tampak bersemangat menunggu kedatangannya. Namun tidak bagiku. Pilihan awalku untuk mengikuti seleksi ini justru membuatku gelisah.

Siswa-siswa yang mendaftar sebagian besar sudah berpengalaman dalam bidang ini. Sedangkan aku? Entah mengapa aku bersikeras untuk bersaing di ajang kompetisi ‘Story Telling’ Nasional, walaupun aku tahu bahwa hal itu akan sangat berat tercapai. Dengan tingkat kepercayaan diriku yang masih kurang, tentu akan mudah tersingkirkan oleh peserta lain.

Goresan demi goresan ia lukis di atas kertas putih. Sesekali ia mengusap gambarannya dan kembali memperbaikinya. Yap. Siapa lagi kalau bukan Kaori, si gadis dengan dua tangannya yang mampu membuat berbagai macam karya seni yang indah. Kali ini dia duduk tepat di sampingku.“5 menit lagi..” Ucap bu Ima dengan suara berat khasnya.Dengan cepat, kuambil pensilku, lalu melukiskan apa yang terlintas di pikiranku di atas kertas putih yang masih mulus tanpa bercak apa pun.“Waktu habis.”

Dua kata penuh makna itu langsung membuyarkan lamunanku. Bu Ima dengan sigap berdiri di depan kelas. Sorot matanya yang cukup membuat seisi kelas hanyut dalam ketegangan sibuk memandangi kami semua. Hingga pada akhirnya pandangan itu tertuju ke arahku.“Hilya.” Sahutnya.Aku terdiam saat bu Ima menyebut namaku. Tubuhku gemetar. Terdengar sangat berlebihan, bukan? Ya, memang. Namun pada kenyataannya, itu yang kurasakan saat ini. Terlebih lagi, semua teman-temanku melihat ke arahku.”Apa yang akan orang katakan tentang gambarku?””Mereka mungkin akan menertawaiku.”Bu Ima lalu menghampiri dan menarik tanganku. “Lawan rasa takutmu.” Bisiknya.

Aku menghela napas panjang. Perlahan, kuperlihatkan hasil gambarku di depan kelas. Hanya sebuah gambar biasa yang sering menjadi ide oleh anak TK.Pelangi. Dengan terbata-bata, kujelaskan makna gambar tersebut. Sangat simpel. Warna-warni dari pelangi dapat kuartikan sebagai lika-liku kita dalam menjalani kehidupan. Tidak selamanya seseorang akan bersama warna cerah. Akan ada saatnya warna gelap datang menghampiri. Namun, dengan sikap pantang menyerah, kita pasti akan mendapatkan hasil terbaik.Tak lama kemudian, suara tepukan tangan mulai menyeruak di dalam kelas. Beberapa temanku terlihat berbisik dengan senyuman ‘bangga’, mungkin. Begitu pula bu Ima yang juga menunjukkan senyumannya. Walaupun terlihat tipis, namun aku bersyukur atas hal itu.

  • Bagikan