[Cerpen] Care Because of Love

  • Bagikan
Dok.Pribadi/Ulfa Lutfiah Rosyifah

KEKER.FAJAR.CO.ID – Cuaca yang sangat terik, bersama dengan para pengemudi dan pengendara yang berhenti di depan lampu lalu lintas. Anak-anak jalanan yang membawa kemoceng untuk membersihkan mobil-mobil mereka. Anak-anak malang yang berharap di beri uang imbalan, tapi hanya satu dua orang yang peduli dengan yang mereka perbuat.

Seorang ibu yang menggendong anaknya sambil mengemis. Kurasa memang tak ada pilihan lain bagi ibu itu sehingga harus membawa anaknya yang tidak tahu apa-apa untuk mengemis di tengah panasnya perkotaan. Mobilku berhenti, tepat di depan sebuah taman di samping lampu lalu lintas.

15 tahun berlalu sebelum aku kembali ke jalan yang satu ini. Melihat anak-anak dan ibu yang tadi, mengingatkanku atas diriku dulu sebelum menjadi seorang dokter. Siapa yang peduli dengan diriku yang dulu? Bocah kotor yang bahkan bajunya hanya satu, bersama sahabatku Mala yang selalu membawa botol bekas diisi pasir untuk mengamen.

Ia memiliki impian sederhana untuk bertemu ibunya yang dulu terpisah karena mengamen sewaktu kecil. Sedangkan Ibuku, ia meninggal disaat umurku 7 tahun, dan ayahku entah kemana. Mala juga ingin sekali besekolah di luar negeri, hanya Mala yang menjadi teman sekaligus keluargaku pada saat itu. Sayangnya suatu ketika, Mala tertabrak mobil, dan pelakunya kabur. Jangankan membawanya ke rumah sakit, aku sudah mati-matian berteriak untuk meminta bantuan, tapi pengguna jalan hanya melihatku tanpa rasa iba sedikitpun.

Kemudian, seorang pengendara motor berhenti di depan kami. Ia bebicara dengan seseorang dibalik telpon itu. Tak lama ambulance datang menghampiri kami. Saat sampai di rumah sakit, sayang, Mala tak dapat di tolong lagi. Ia kehilangan banyak darah karena kepalanya terbentur dengan keras. Andai saja ada yang peduli dengan kami lebih awal, mungkin sahabatku masih bisa bersamaku. Pak Dimas, ia adalah seorang dokter sekaligus pengendara motor yang sebelumnya menolong kami. Meski nyawa Mala tak terselamatkan, aku tetap berterimakasih kepadanya yang memiliki hati layaknya malaikat penolong.

Setelah kepergian Mala, aku tak punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada lagi yang menemaniku untuk mengamen, tak akan ada lagi senyum ceria sahabatku yang membuatku semangat setelah lelah mengamen seharian. Kenapa bukan aku saja yang diambil duluan? Setidaknya aku bisa bertemu dengan ibuku. Mengapa Mala? Ia punya impian, sedangkan aku? Makan sehari sekali saja sudah sangat bersyukur.

Melihat kondisiku yang sebatang kara tanpa tujuan, Pak Dimas memutuskan untuk mengadopsiku, ia tidak punya anak selama 10 tahun pernikahannya. Aku tentu sangat bahagia, tetapi seandainya Mala masih bersamaku, aku pasti lebih bahagia. Istri Pak Dimas yaitu Bu Ayu juga sangat baik terhadapku, aku bersyukur masuk di keluarga yang lumayan berada, dan peduli terhadap sesama.

Hari, bulan, tahun. Sudah kulalui bersama keluarga ini. Saat lulus SMA, aku diterima di sebuah universitas di Inggris. 4,5 tahun berkuliah dan jauh dari rumah, aku akhirnya lulus sebagai mahasiswi bernilai ‘Cumlaude’. Orangtua angkatku sangat bangga terhadapku, mereka telah mendukungku sampai sejauh ini. Aku yakin, Mala juga pasti sangat bahagia melihat hal yang dulu ia impikan, sekarang telah kudapatkan untuknya, yaitu bersekolah di luar negeri. Dan di sinilah aku sekarang, duduk di sebuah taman, mengenang perjalanan hidupku.

Aku duduk bercerita dan mendengarkan cerita bersama anak-anak jalanan yang malang ini. Serasa melihat diriku yang dulu. Aku mengajak mereka ke panti asuhan yang telah dibangun ayah angkatku tiga tahun yang lalu, dan tentu mereka mau, lalu bersorak bahagia. Setelah sampai di panti asuhan, mereka amat gembira, membayangkan akan sekolah, makan setiap hari, dan akan mendapatkan banyak teman. Pikiran polos yang dulunya pernah kumiliki saat diangkat sebagai anak oleh Pak Dimas.

  • Bagikan