[Cerpen] Janji Xavier

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Matahari bersinar terik membakar ubun-ubun. Di hari yang panas itu Xavier melangkahkan kaki pulang ke rumahnya dengan wajah tak bersemangat. Hari ini nilai ujian matematika hanya dapat nilai 75. Tidak sampai KKN. Padahal ia sudah belajar habis-habisan seminggu terakhir. Namun memang soalnya saja yang sangat sulit.

Sampai di depan pagar rumahnya, ia masuk dengan hati was-was. Takut ibunya akan marah melihat nilai ujiannya yang jelek. Tapi nasib, baru saja ia membuka pintu rumah, ibunya sudah duduk menunggu di sofa sembari menyeruput secangkir teh. Melihat anaknya telah pulang, sang ibu berdiri, menyambut anaknya.

“Kau sudah pulang nak? Bagaimana hasil ujiannya?” Tanya sang ibu. Ia sudah tau hari ini pembagian hasil ujian. Xavier hanya menggeleng pelan. Kepalanya tertunduk. Menjulurkan kertas ujiannya dengan takut-takut.

Namun, sang ibu justru tersenyum kecil melihat anaknya yang takut dimarahi. Menggemaskan baginya melihat sikap anaknya itu. Sang ibu kemudian menyuruh anak lelakinya itu segera berganti pakaian. Lalu ke dapur untuk makan siang. Xavier mengangguk, dengan langkah gontai berjalan ke tangga. Menuju kamarnya di lantai dua.


“Kau mau tambah nasi gorengnya sayang?” Sang ibu bertanya lembut. Dibalas anggukan oleh Xavier. Ia memang lapar sekali. Cuaca panas di luar sana menguras habis tenaganya, belum lagi beban pikiran karena nilai ujiannya.

Sang ibu mengangguk menyendokkan nasi goreng dari periuk ke piring anaknya. Xavier melanjutkan makannya, ditemani sang ibu. Namun walaupun Xavier makan dengan lahap sebenarnya ia masih takut akan diomeli selepas makan. Melihat gelagat anaknya, sang ibu tersenyum lembut sambil mengusap kepala anaknya.

“Xavier, Ibu tidak marah kok kamu dapat nilai rendah. Tidak sama sekali,” ucap sang ibu.Anak itu meletakkan sendok. Mulutnya berhenti mengunyah. Kini menatap wajah penuh keibuan di hadapannya. “Benarkah, sungguh ibu tidak marah?” Xavier bertanya memastikan dengan mata bulat hitamnya mengerjap-ngerjap, menggemaskan. Sang ibu menganggguk. “Tentu sayang, bagaimana ibu akan marah? Kan ibu sendiri yang membantumu belajar. Juga ibu yang menyelimuti kamu kalau kamu belajarnya terlalu larut. Kan? Jadi mana bisa ibu marah.”

Seutas senyum seketika terbit di wajah anak dua belas tahun itu. Sang ibu kembali mengelus kepala Xavier. “Anakku, terkadang ada hal-hal yang memang belum bisa kau capai saat ini nak. Belum saatnya. Namun bukan berarti kau cuma boleh duduk diam tak melakukan apapun,” Xavier menyimak perkataan ibunya. Wajahnya yang tadi redup kini antusias.

  • Bagikan